Take a fresh look at your lifestyle.

Gagal Faham Soal Khilafah

0 102

Ibadah.co.id – Kenyataan bahwa hingga saat ini masih ada sekelompok umat Islam yang gigih memperjuangkan khilafah menunjukkan kesalahapahaman dalam menerjemahkan bentuk negara dalam Islam. Khilafah diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir, dan juga ISIS yang berupaya membentuk kekhilafahan di Irak dan Suriah. Islamic state atau negara Islam menjadi tujuan utama perjuangan mereka. Namun, kondisi nyata di mana mereka melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan dalam memperjuangkan khilafah menjadi tanda tanya besar, benarkah sistem khilafah dan daulah Islamiyah seperti itu yang mereka perjuangkan?

Mendasarkan diri pada sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW, keyakinan bahwa khilafah bakal terlahir kembali hanya dibaca secara tekstual, leterlek. Seperti kalimat khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah yang menempuh jejak kenabian) dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hadits yang menjelaskan potongan kalimat tersebut masih diperdebatkan statusnya. Ada yang mengatakan shahih, hasan, dan dhaif (lemah).

Berikut bunyi terjemahan hadits dimaksud, “Adalah masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa khilafah yang menempuh jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adhdhon) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia mengehendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa khilafah yang menempuh jejak kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR Ahmad)

Khamami Zada dalam Meluruskan Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis (2018) menjelaskan bahwa terlepas dari perbedaan para ahli hadits tentang status hadits di atas, khilafah ‘ala minhajin nubuwwah tidak dapat diartikan secara leterlek atau apa adanya, bahwa akan muncul khilafah yang sesuai dengan manhaj kenabian. Akan tetapi, khilafah di sini ialah salah satu bentuk negara yang dipraktikkan oleh umat Islam, baik bentuknya imamah, imarah, maupun mamlakah (kerajaan) dan syura (republik).

Terlihat di sini bahwa makna khilafah bukan dalam artian mendirikan negara Islam atau daulah Islamiyah. Ia lebih pada arti sistem pemerintahan. Jika sebuah sistem pemerintahan dapat membawa rakyat pada kondisi aman, adil, makmur, dan sejahtera, maka apapun bentuk sistem pemerintahannya, ia sudah termasuk khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Karena sistem pemerintahan yang menempuh jejak kenabian ialah berdasarkan kebersamaan dan keadilan bagi semua bangsa dalam perjanjian dan kesepakatan yang termaktub dalam 47 pasal Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Mitsaq al-Madinah menjadi bukti otentik dalam sejarah peradaban Islam bahwa negara pertama yang didirikan Nabi Muhammad SAW ialah negara Madinah, negara kesepakatan atau perjanjian (Darul Mitsaq), bukan negara Islam, bukan daulah Islamiyah atau khilafah dalam pandangan kelompok Hizbut Tahrir dan ISIS. Dengan demikian, tidak otomatis khilafah ISIS atau kampanye khilafah Hizbut Tahrir adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Karena justru yang dilakukan kelompok ISIS mencederai nilai-nilai ajaran Islam yang menjunjung tinggi kasih sayang terhadap sesama. Mereka mengangkat senjata, menumpahkan darah, dan tidak segan-segan membantai kelompok mana pun yang berbeda pandangan serta tidak mengikuti daulah yang ingin didirikannya.

Begitu juga dengan khilafah yang terus didengungkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kelompok Hizbut Tahrir justru ingin mengubah dasar negara dengan menolak Pancasila dan segala sistemnya. Layaknya Piagam Madinah, Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang disepakati oleh para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia. Para pendiri bangsa di antaranya terdiri dari para ulama dan aktivis Islam. Mereka paham agama dan fiqih siyasah (fikih politik) sehingga negara berdasarkan Pancasila tidak menyalahi syariat Islam. Justru syariat dan nilai-nilai Islam menjadi jiwa bagi Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial merupakan nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam Pancasila.

Jika khilafah ‘ala minhajin nubuwwah diterjemahkan sebagai sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian, Indonesia merupakan negara yang mempraktikkannya. Ukurannya bisa dilihat bahwa Nabi Muhammad mendirikan negara kesepakatan (Darul Mitsaq) bersama umat beragama, suku, dan kabilah-kabilah di Madinah berdasarkan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Serupa, Indonesia juga mempunyai konsensus kebangsaan atau kesepakatan seluruh bangsa yang mendiami tanah air Republik Indonesia berupa Pancasila. Seluruh bangsa yang ada di dalamnya, tak terkecuali, dilindungi oleh negara selama mereka tidak melanggar kesepakatan dan tidak melanggar hukum yang berlaku secara norma, etika, dan legal.

Tentu saja penulis tidak bermaksud membandingkan atau menyamakan antara produk kesepakatan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah dengan para ulama Indoensia dalam Pancasila. Ulama Indonesia hanya mengambil inspirasi dari praktik pendirian negara Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Di sini, Nabi hanya memberikan inspirasi kepada umat Islam bagaimana membangun sistem pemerintahan Islami berdasarkan kesepakatan bersama warga bangsa. Kendati demikian, Islam tetap menjiwai praktik kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad kala itu.

Pertanyaannya, mengapa ada sekelompok umat Islam yang menggebu-gebu mendirikan khilafah dalam artian negara Islam? Sedangkan Nabi Muhammad tidak pernah mempraktikkan pendirian negara Islam. Celakanya lagi, ada orang-orang Islam yang memaknai bahwa negara khilafah adalah ajaran Islam. Pandangan ini bukan hanya salah kaprah dan leterlek, tetapi gagal paham soal khilafah. Karena khilafah hanya ‘ijtihad politik’ para pemimpin Muslim sepeninggal Nabi Muhammad. Wallahu a’lam bisshawab.

*(Penulis: Fathoni Ahmad, Pengajar Sejarah Islam di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta).

Tulisan ini pernah diunggah di nu.or.id pada tanggal 31 Maret 2019

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy