Ibadah.co.id-Ombudsman Republik Indonesia menggelar diskusi tematik ‘Kebijakan Pembatasan Ekspor Nikel’. Diskusi ini berkaitan dengan kebijakan Kementerian ESDM mengenai penghentian ekspor nikel berdasarkan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019.
Anggota Ombudsman Laode Ida mengatakan, pihaknya mengendus potensi korupsi dalam kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut juga potensi hanya menguntungkan pelaku usaha tertentu.
“Yang terpenting, kami melihat kebijakan pelarangan ekspor nikel ini berpotensi koruptif. Karena bisa hanya memberikan keuntungan sekelompok orang, sekelompok pebisnis atau pemegang smelter di dalam negeri, dimana itu juga adalah PMA,” ujar dia, saat ditemui, di Jakarta, Jumat (15/11).
“Kita tahu PMA tidak lari ke dalam negeri. Itu hanya sebagian kecil saja lari ke dalam negeri. Padahal itu memanfaatkan sumber daya alam,” lanjut dia.
Potensi keuntungan tersebut, jelas dia, berasal dari selisih harga nikel. “Dari segi harga, hari ini, harga nikel di London metal exchange itu 70 USD per metrik ton untuk kadar 1,65. Sementara harga di tingkat lokal itu belum ada harganya itu untuk kadar 1,65. Yang diterima dari 1,8 up dengan harga yang jauh lebih rendah, yaitu USD 25, USD 28, mungkin USD 30 paling tinggi,” ungkapnya.
Harga nikel yang ditekan, lanjut dia, bakal mengakibatkan turunnya pelaku industri nikel dalam negeri. Hal ini bisa berimbas pada upaya rehabilitasi lingkungan di tempat usaha tambang nikel.
“Margin keuntungan rendah tidak bisa disisihkan untuk perbaikan lingkungan. Sementara pembeli ore nikel ini masih terbatas Sekarang. Cuma dua atau tiga yang besar, Virtue Dragon dan Morowali, mungkin akan dibangun yang lain-lain, tapi sementara begitu,” tegas dia.
Sebagai informasi, dalam pertemuan tersebut, Ombudsman mengundang perwakilan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (RB)