IHW: Indonesia Harus Mengambil Keuntungan dan Jadi Industri Perdagangan Produk Halal Utama Dunia
ibadah.co.id –Perkembangan Industri Halal di seluruh dunia terus meningkat dalam beberapa tahun ini, khususnya untuk produk makanan, keuangan, fashion, kosmetik dan obat-obatan, media dan pariwisata.
Sementara di tanah air masih terus berputar-putar pada persoalan sertifikasi halal, bahkan sampai pada stagnasi proses pendaftaran sertifikasi halal, dikarenakan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bersikeras tetap mengambil alih pendaftaran sertifikasi halal, padahal belum siap.
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal sebagai bentuk diskresi untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dinilai sudah tepat, agar UU JPH dapat dijalankan sekalipun BPJPH dan infrastruktur lainnya belum siap. UU JPH tetap dapat dijalankan dengan memberikan kewenangan kepada Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan (LPPOM MUI) yang selama ini telah menjalankan fungsi tersebut.
Indonesia harus maksimal mengambil keuntungan dari bisnis produk halal yang sangat potensial dan market sizenya yang sangat besar, karena meliputi makanan, minuman, Kosmetika, Obat, Fashion dan Halal Tourism. Saat ini kita masih menempati posisi Utama sebagai Negara Konsumen terbesar yang membelanjakan hampir U$D 170 Miliar dollar per tahun untuk produk halal, berdasarkan data Global Islamic Economy Indicator 2018/2019. Artinya bila kita dapat memasok kebutuhan sendiri, maka kita akan menghemat devisa sebesar Rp. 2.465 Triliun Rupiah per tahun.
Sektor terbesar ke 2 yang harus dikejar adalah kosmetika halal yang potensial menyumbangkan pendapatan bagi Negara, karena disektor ini bukan hanya kebutuhan wanita saja untuk kosmetika. Pria juga sebagian besar menggunakan kosmetika, bahkan sekarang sudah bermunculan produk kosmetika yang dapat dipergunakan untuk pria dan wanita (unisex).
Selanjutnya Pemerintah Indonesia harus dapat memacu research/riset agar dapat menghasilkan berbagai obat dan vaksin halal yang sampai saat ini masih didominasi oleh obat dan vaksin yang masih berbahan baku non Halal. Jadi saat ini orientasi kita harus sudah bergeser untuk tidak lagi membahas dan berpolemik tentang sertifikasi halal, apalagi mengharapkan masukan dari sertifikasi halal sebagai penerimaan Negara non pajak, karena bukan saja mundur tapi juga membebani Keuangan Negara.
Yang harus dilakukan saat ini bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan dari Perdagangan Industri Halal dan Indonesia menjadi Industri Utama Dunia dalam perdagangan produk halal. Karena Sertifikasi halal itu hanya salah satu instrumen saja.
Universitas di Indonesia agar fokus melakukan penelitian untuk dapat menghasilkan bahan pengganti Obat dan Vaksin yang tidak halal dengan bahan substitusi yang halal. Ini wajib dilakukan dalam 5 tahun ini. Kita harus dapat mengambil hikmah dari Negara Senegal yang beberapa waktu lalu telah berhasil menemukan bahan vaksin Yellow Vever dari bahan substitusi yang halal, dan kini Negara tersebut mendulang devisa dari perdagangan Vaksin di kawasan Afrika Barat.
Bila Indonesia dapat mencontoh Senegal, maka kita tidak perlu membelanjakan trilyunan Rupiah untuk pengadaan Vaksin BCG, Dipteri, campak, cacar, meningitis, serviks dan lainnya. Ini sekaligus tantangan Biofarma sebagai Industri Faksin terbesar untuk mampu berkolaborasi dengan Universitas untuk memperkuat riset, untuk jenis Vaksin MR. Indonesia harus menjadi Negara Industri Utama Dunia dalam Industri Halal. (ed.AS/ibadah.co.id/rilis)
