Ibadah.co.id – Jual beli adalah transaksi antara satu orang dengan orang yang lain yang berupa tukar menukar suatu barang dengan uang, praktik ini tentu di halalkan oleh syariat islam dalam rangka mencari rezeki.
Secara umum, islam sudah mengatur aspek kehidupan manusia seluruhnya hingga pada permasalahan ekonomi, khususnya jual beli, tentu saja aturan ini dalam rangka memberikan kemaslahatan atau tidak terjadinya kemudharatan (dampak buruk dari transaksi yang dilakukan).
Salah satu contoh aturan dalam jual beli adalah dilarangnya melakukan transaksi jual beli yang bertepatan dengan shalat jum’at, karena shalat jum’at memiliki keistimewahan khusus di banding shalat yang lainnya, seperti dilaksanakan dengan jumlah khusus, harus berjamaah, disertakan khutbah yang wajib didengarkan, bacaan yang jahar, dan sebagainya. Dasar dalilnya adalah firman Allah dalam QS Al-Jumu’ah: 9:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Ayat ini mengandung perintah agar segera menuju shalat jumat dan meninggalkan jual beli. Dikhususkannya jual beli atas aktifitas lainnya karena pekerjaan tersebut yang paling banyak digeluti orang dan paling sering menyibukkan orang di pasar sehingga lalai dari menghadiri shalat Jum’at. Mayoritas ulama sepakat, mulai berlakunya larangan jual beli ini adalah ketika adzan kedua dikumandangkan dan khatib sudah naik ke atas mimbar, apalagi matahari sudah menunjukkan waktu tergelincir ke arah barat.
Status akad transaksi jual beli yang dilakukan saat adzan Shalat Jum’at
Terkait dengan sah atau tidaknya aqad, ini masih dalam perbedaan pendapat di kalangan ulama terkenal, ada yang mengatakan sah ada juga yang tidak sah (rusak/fasakh):
Pendapat pertama, dari kalangan mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa akad jual belinya adalah sah namun berdosa, karena larangan jual-beli ini bukan pada dzat akadnya namun karena sebab lain yaitu bisa memalingkan orang dari shalat Jum’at. Adapun status berdosa di sini bersifat muqayyad (terbatas), yaitu secara khusus berlaku hanya bila transaksi tersebut dilakukan oleh kelompok ahli jum’ah. Dengan demikian, kalangan mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi menyatakan bahwa kaum perempuan dan anak-anak bukan termasuk yang dikenai larangan/teguran dari nash di atas. Pendapat ini dapat kita ketahui melalui pernyataan salah satu ulama dari kalangan As-Syafi’iyah, namanaya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawy di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab li al-Syairazy:
ولايبطل البيع لأن النهي لايختص بالعقد فلم يمنع الصلاة كالصلاة في الأرض المغصوبة
“Tidak membatalkan akad jual beli (akadnya sah), karena sesungguhnya larangan tersebut tidak dikhususkan pada akad, sementara akad tidak menghalangi shalat, sehingga seperti (hukum) shalat di bumi yang dighashab (berdosa).” .
Pendapat kedua, memandang bahwa akad tersebut tidak sah dan wajib dibatalkan. Pendapat ini disampaikan oleh kalangan ahli dhahir (tekstualis) dari kalangan mazhab Maliki dan mazhab Hanbali. Masing-masing mazhab ini menyatakan bahwa hukum wajib dikembalikan kepada asal larangan. Dengan demikian, kalangan mazhab ini menyatakan wajibnya merusak akad (fasakh akad). Kewajiban ini berlaku untuk semua pedagang secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan, baik termasuk ahli jum’ah (orang yang wajib shalat Jumat) maupun bukan. Dengan kata lain, kalangan tekstualis menyatakan hukum mutlak wajib fasakh (rusak).
Apakah aqad-aqad yang lain juga di larang ketika adzan jum’at dikumandangkan?
Ibnu Qudamah al-Maqdisy dan ahli fikih lainnya sepakat bahwa untuk akad-akad yang lain, selain akad jual beli, tidak termasuk bagian yang harus di-ilhaq-kan (disamakan hukumnya). Ada perbedaan mendasar antara akad jual beli dengan akad-akad yang lain, seperti ijarah dan nikah. Perbedaan itu adalah, bahwa akad jual beli merupakan akad yang sudah menjadi rutinitas. Jika jual beli ini merupakan yang dikhususkan dalam nash disebabkan karena ia bisa melalaikan pelakunya dari shalat Jumat. Alasan rutinitas ini tidak dijumpai pada akad ijarah dan nikah, sehingga ia termasuk bagian yang tidak dikenai putusan hukum larangan akibat nash.
Kesimpulannya adalah, shalat jum’at hukumya wajib bagi muslim yang baligh dan aqil, adapun perempuan, anak kecil dan musafir tidak di wajibkan, sehingga larangan jual beli di waktu shalat jum’atpun tidak berlaku bagi mereka yang tidak di wajibkan, karena yang Allah larang untuk berjual-beli adalah orang-orang yang Allah perintahkan untuk pergi menuju shalat. Adapun yang tidak diperintahkan shalat maka tidak tercakup dalam larangan. Kemudian, larangan berjual-beli juga alasannya adalah karena dapat menyibukkan dari shalat Jum’at, dan alasan ini tidak ada pada orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at. Adapun jika salah satu pihak yang bertransaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at sedangkan pihak yang lain tidak wajib. Maka hukumnya haram bagi orang yang diwajibkan tersebut. Dan makruh bagi yang tidak waijb karena terdapat unsur tolong-menolong dalam dosa. (Di kutip dari kitab Al Mughni.).
(ed.RB)