KH. Ma’ruf Amin, Antara Pancasila, Islam dan Demokrasi
Ibadah.co.id –Kiai Ma’ruf Amin memiliki pemikiran tersendiri mengenai Pancasila, Islam dan Demokrasi yang terlebih terjadi di Negara Indonesia. Pemikiran itu terjadi atas dasar perbedaan ideologi antarbangsa, sehingga tercipta pemikiran-pemikiran dari berbagai tokoh masyarakat.
Di massa muda, Kiai Ma’ruf Amin cukup aktif dalam dunia legislatif. Beliau juga menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sebagai Rais Aam NU. Terkenal sebagai ulama dan politikus, membuat Kiai Ma’ruf dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan luas tentang agama dan politik.
Pancasila dan UUD ’45
Seperti dalam hal ini, Kiai Ma’ruf Amin memiliki pemikiran tersendiri mengenai Pancasila. Menurutnya, Pancasila merupakan sebuah pilar yang mampu menyatukan masyarakat yang majemuk. Yang hidup bersama dengan perbedaan agama, ras, suku atau apapun itu.
Pancasila adalah pemersatu, dan menurutnya, Soekarno adalah sosok yang harus diberi penghargaan karena telah berhasil menciptakan Pancasila. Padahal, jaman dulu banyak sekali tokoh yang menginginkan dasar pemikirannya dijadikan Pancasila atau dasar Negara Indonesia.
“Bagi tokoh nasionalis, Pancasila adalah lambang kebangsaan yang religius. Bagi kelompok Islam, Pancasila adalah kebangsaan yang bertauhid,” kata beliau dalam ceramahnya di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Sama halnya dengan Pancasila, UUD 1945 juga merupakan pilar penting yang berhasil dicapai oleh pemimpin terdahulu, di mana mereka dengan baik mengelola Negara dan mengatur mekanismenya.
Menurut Kiai Ma’ruf, umat Islam menyebut UUD 1945 sebagai kesepakatan nasional. Kesepakatan sesama saudara dan setanah air.
Untuk itu, Kiai Ma’ruf meminta masyarakat untuk menjaga ketahanan Pancasila dan UUD 1945 yang telah menjadi pilar bagi negara Indonesia. Walaupun saat ini banyak pemahaman keislaman transnasional yang dikenal radikal sebagai tantangannya, Kiai Ma’ruf menegaskan kita tak boleh diam apalagi menyerah, melainkan harus terus berbuat dan mendakwahkan Islam Indonesia yang lebih toleran dan aman.
Negara “Kesepakatan”
Dalam diskusi bertajuk “Dari Tokoh Bangsa untuk Republik: Pemikiran KH. Ma’ruf Amin Mengenai Kerakyatan, Kebangsaan dan Kedaulatan” yang digelar di Megawati Institute, Jakarta Pusat, pertenghan bulan lalu (11/12), Walau Kiai tak sempat hadir, beliau memaparkan pemikiran-pemikirannya lewat video webcam yang disaksikan para peserta.
Dalam kesempatan itu, menurut Kiai Ma’ruf, kelompok penganut paham radikal hanya mengenal Islam kaffah. Padahal, kata dia, umat Islam di Indonesia adalah Islam ma’al mitsaq, yang artinya adalah Islam kaffah namun memiliki kesepakatan. Kesepakatan yang diterapkan oleh umat Islam di Indonesia. Kesepakatan ini menurutnya mengikat, karena masyarakatnya yang majemuk. Hal ini berbeda dengan Arab Saudi yang tidak menerapkan mitsaq.
“Islam yang itu tapi ada mitsaq (perjanjian/kesepakatan). Tentu bebeda dengan Saudi. Tidak ada mitsaq karena mereka tidak majemuk. Kita di sini sudah ada kesepakatan dan itu mengikat,” ujarnya.
Islam Nusantara
Beberapa tahun terakhir ini, wacana Islam Nusantara terus mencuat. Ada yang setuju ada yang menolak, tentunya dengan pelbagai alasannya masing-masing.
Bagi Kiai yang besar dan menuntut ilmu (pesantren) di lingkungan NU, beliau adalah salah satu sosok ulama yang pro dengan Islam Nusantara. Dalam kesempatan halaqoh kebangsaan bertajuk “Islam Nusantara mengembangkan sikap toleran, moderat, dan maslahah” yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, (19/8/2015), menegaskan bahwa istilah itu bukanlah sesuatu yang baru. sejak dulu itu sudah ada.
Istilah yang merujuk pada pola, sisitem, dan corak masuknya Islam di wilayah nusantara ini yang lebih berdamai atau asimilasi dengan budaya yang ada. Sehingga masuknya Islam di Nusantara ini relatif tenang, aman, dan halus. Para Wali Songo, sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Nusantara ini.
Kiai Ma’ruf mengatakan bahwa “Islam Nusantara bukan agama baru, akan tetapi Islam yang tumbuh di Nusantara. Islam Nusantara ya Islam Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdhiyyah, Islam yang bergerak dinamis memperbaiki.”
Terkait ciri Islam Nusantara, Ma’ruf mengatakan bahwa sesungguhnya ada tiga domain wilayah yang harus seimbang dijalankan sebagai ciri utama. Tiga aspek tersebut meliputi aspek pemikiran (fikrah), aspek gerakan (harakah), dan juga aspek perbuatan (amaliyah). Pada aspek pemikiran Islam Nusantara tidak tekstual dan juga tidak liberal, ia bersifat moderat.
Memperkuat Demokrasi
Kiai juga bicara soal demokrasi, demokrasi di Indonesia ini harus dijalankan dengan proporsional, sehingga tidak menimbulkan perpecahan. Dalam berdemokrasi harus mengedepankan rasa Nasionalisme, agar tidak merusak pertahanan bangsa dan keutuhan Negara. Terlebih jika penyebabnya hanya karena ingin menang semata.
Oleh karena itu, dalam hal ini tak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada Negara, melainkan juga masyarakat harus berperan dalam mempertahankan keutuhan bangsa. Indonesia yang dikenal dengan kebhinekaannya, jangan sampai menjadi alasan masyarakat terpecah-pecah. Apalagi berusaha menggantikan sistem dan ideologi baru.
Kiai menegaskan bahwa masyarakat dan pemerintah harus saling bahu membahu menjaga keutuhan bangsa ini. Jangan sampai saling memusuhi satu sama lain yang berbeda, yang pada akhirnya masyarakat dan bangsa ini terpecah-belah. Pancasila, UUD ’45, Demokrasi, Kebinekaan harus tetap tegak dan menjadi lebih baik di Negeri Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. (Ed.An/Fana/Siska).