Ibadah.co.id – Sukarno mengaku sejak kecil tak pernah mendapatkan pendidikan agama dari orangtuanya, walaupun ayahnya, Raden Soekemi Sosorodiharjo, seorang guru. Begitu pula ketika Sukarno kecil sakit-sakitan dan dititipkan kepada kakeknya, Raden Hadjodikromo, di Tulung Agung. Ia tak pernah belajar agama dengan baik walau kakeknya memiliki ilmu hikmah dan dikenal sebagai ahli kebatinan.
“Aku tak pernah mendapat didikan agama yang teratur, karena bapak tidak mendalam di bidang itu. Aku menemukan sendiri agama Islam dalam usia 15 tahun, ketika aku menemani keluarga Tjokro (Raden Haji Oemar Said Cokroaminoto),” terang Sukarno lagi.
Kala itu, Sukarno sekolah di Hogere Burger School (HBS), setingkat sekolah menengah umum, di Surabaya, tahun 1917 dan tinggal di rumah Cokroaminoto. Selama tinggal di rumah Cokroaminoto, Sukarno tak menyia-nyiakan kesempatan belajar di bidang politik. Sebab, Cokroaminoto merupakan seorang pemimpin politik orang Jawa dan dijuluki sebagai ‘Raja yang tidak dinobatkan’.
Seperti dikutip dari Buku Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Mufassir Jawa karya Ali Fahrudin (2020), Cokroaminoto sebagai pemimpin Sarekat Islam (SI), partai terbesar saat itu, sering dikunjungi sejumlah tokoh pergerakan nasional untuk berdiskusi terkait masalah politik. Sukarno sering menemani Cokroaminoto ketika diundang ke sejumlah tempat untuk menyampaikan pidato politik.
“Hal itu memberikan pelajaran sangat penting dalam kehidupannya kelak. Karena itu, tidak mengherankan bila Sukarno mengatakan bahwa Cokroaminoto sangat mempengaruhi hidupnya, bahkan dialah orang yang mengubah seluruh hidupnya,” tulis Ali Fahrudin dalam bukunya itu.
Tak hanya pelajaran politik, Sukarno juga mulai mendalami agama. Ia mulai mengikuti kegiatan organisasi agama dan sosial seperti Muhammadiyah. Ia sering mengikuti pengajian di sebuah gedung di sebarang rumah Cokroaminoto di Gang Peneleh, Surabaya. Pengajian itu diselenggarakan setiap bulan yang dihadiri 100 orang. Pengajian biasa dimulai pukul 20.00 hingga larut malam. Bahkan, Sukarno sempat ikut pengajian itu ketika dihadiri KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
“Sungguh pun aku asyik mendengarkan, tapi belumlah aku menemukan Islam dengan betul-betul dan sungguh-sungguh sampai aku masuk penjara. Di dalam penjaralah aku menjadi penganut (Islam) yang sebenarnya,” ungkap Sukarno lagi kepada Cindy Adams.
Beberapa kali Sukarno harus masuk penjara kolonial Belanda. Setelah lulus pendidikan di Tehnische Hoge School (THS), yang dikemudian hari menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB), Sukarno semakin aktif dalam organisasi pergerakan, seperti Jong Java dan Jong Indonesia. Puncaknya ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927. Saat itu pemerintah Hindia Belanda menuduhnya telah melakukan makar dan memenjarakannya di Sukamiskin, Bandung, tahun 1930.
Selepas keluar dari penjara, Sukarno mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Lagi-lagi, pemerintah kolonial Hindia Belanda tak suka dengan Partindo yang makin besar bersama PNI yang kala itu sudah dipimpin Muhammad Hatta. Kembali Sukarno akhirnya dibuang ke Ende (Pulau Flores), sekarang provinsi Nusa Tenggara Timur. Di tempat pembuangannya, Sukarno aktif kembali mempelajari agama Islam.
Namun, secara resmi Sukarno menjadi kader Muhammadiyah tercatat sejak tahun 1938, yaitu ketika ia menjalani pembuangan dan tahanan rumah di Bengkulu. Dikutip dari buku K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) terbitan Museum Kebangkitan Nasional (2015), Sukarno menjadi calon anggota Muhammadiyah cabang Bengkulu pada 1 Juni 1938. Namun, sejak 1 Agustus 1938, Sukarno telah menjadi anggota secara definitif di organisasi keagamaan tersebut.
Aktifnya Sukarno di Muhamamdiyah cabang Bengkulu tercatat dalam surat Kepala Pemerintah Daerah J. Bastiaans kepada Residen Bengkulu bernomor 7147/20 tertanggal 14 September 1938. Di kota itu, Sukarno ikut duduk dalam Komisi Kurikulum sekolah Muhammadiyah. Pada 20 Agustus sempat diangkat menjadi anggota Dewan Pengajaran Muhammadiyah. Disebutkan, sejak Sukarno berada di Bengkulu, organisasi Muhammadiyah lebih hidup.
Pengaruh Sukarno di Muhammadiyah mulai terasa di luar organisasi. Misalnya, sejumlah pengurus organisasi Jamiatul Khair dan Taman Siswa yang mulai meminta nasehat dalam berbagai bidang kepada Sukarno. Aktivitas Sukarno itu dilaporkan oleh Residen Bengkulu P.M Hooykas kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (Jonkheer).
Laporan juga disampaikan oleh Pejabat Penasehat Urusan Bumi, G.F. Pijper kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan surat nomor K-75/K-II tanggal 31 Desember 1938. “Sukarno adalah penganut Islam yang aktif. Hal ini sudah diketahui sejak dahulu, yakni ketika Sukarno menjadi tahanan di Flores,” tulis Pijper dalam laporannya. Ujungnya, pemerintah kolonial Belanda meminta Sukarno menghentikan aktivitasnya dan mencabut jabatan di kepengurusan Muhammadiyah.
Sukarno pun ternyata dekat dengan kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan besutan KH Hasyim Asy’ari. Dikutip dari buku KH. Hasyim Asy’ari, Pengabdian Seorang Kyai untuk Negeri terbitan Museum Kebangkitan Nasional (2017), Sukarno pernah menjadi santri KH. Ahmad Basari atau Kiai Sukanegara, Cianjur, Jawa Barat pada tahun 1940-an. Kai Basari merupakan murid dari KH. Hasyim Asy’ari.
Kedekatan Sukarno dengan kalangan NU pun semakin terjalin pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Mendengar pasukan sekutu (agresi militer Belanda I) akan mendarat, Sukarno yang sudah menjadi presiden mengirimkan utusannya untuk menemui Kiai Hasyim untuk minta fatwa bagaimana warga negara dalam menghadapi musuh yang akan menjajah Indonesia kembali.
Mendapat permintaan dari Presiden Sukarno, Kiai Hasyim bersama para ulama NI se-Jawa dan Madura membuat fatwa dan resolusi jihad di kantor GP Ansor, Jalan Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945. Dalam seruannya fatwa jihad fi sabilillah, Kiai Hasyim menetapkan hukum fardu ‘ayin (wajib) bagi umat Islam untuk membela tanah airnya yang diserang musuh dalam jarak 94 kilometer.
Titik temu Sukarno dan NU sebenarya mulai intens terjalin sejak rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) tahun 1945. Dari 62 orang anggota, 15 orang di antaranya adalah kiai perwakilan NU, seperti KH. Masykur dan KH. Wahid Hasyim. Dari keduanya lah, Sukarno mengenal pesantren lebih dekat. Hal itu terjadi karena para kiai menunjukan simpati yang besar terhadap nasionalime berdasarkan kerakyatan yang diusung Sukarno.
Hubungan Presiden Sukarno dengan NU semakin erat, ketika pemerintahan RI tengah dirongrong kekuatan pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Pemrintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)–Perjuangan Semesta (Permesta). Salah satu kedetakan Sukarno dengan NU, ketika ia datang menghadiri Muktamar NU ke-23 di Kota Surakarta, Jawa Tengah, 28 Desember 1962.
“Saya sangat cinta sekali dengan NU. Saya sangat gelisah jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke muktamar ini, agar orang tidak meragukan kecintaan saya kepada NU,” tegas Sukarno.
Saat itu, Sukarno juga memberikan apresiasi kepada NU dan Rais Aam PBNU, KH. Wahab Hasbullah atas gagasannya merebut Irian Barat. “Baik ditinjau dari sudut agama, nasionalisme, maupun sosialisme. NU memberi bantuan yang sebesar-besarnya. Malahan, ya memang benar, ini lho pak Wahab ini bilang sama saya waktu di DPA dibicarakan berunding apa tidak dengan Belanda mengenai Irian Barat, beliau mengatakan: jangan politik keling. Atas advis anggota DPA yang bernama Kiai Wahab Hasbullah itu, maka kita menjalankan Trikora dan berhasil saudara-saudara,” kata Sukarno. (AF)
Baca juga :RA. Kartini, Tafsir Al Qur’an dan KH. Saleh Darat
Sumber : Detik.com
[…] siap mendukung dan membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan NU dalam pelaksanaan agenda-agenda internasionalnya,” kata Syeikh Al Issa dalam pertemuan pribadi […]