Take a fresh look at your lifestyle.

- Advertisement -

Bolehkah Memperoleh Rezeki dengan Menzalimi?

0 286

Ibadah.co.id – Islam mewajibkan umatnya bekerja untuk mendapatkan rezeki. Dengan bekerja, seseorang bisa menafkahi dirinya dan kewajibannya. Akan tetapi, ada orang-orang yang mengambil jalan pintas dengan melakukan berbagai cara agar cepat kaya ataupun agar memperoleh jabatan dan pangkat yang tinggi.

Ada yang melakukan korupsi, menyebar hoaks tentang pesaing bisnisnya, ‘menjilat’ pimpinan, serta memfitnah rekan kerjanya dan lainnya sebagainya. Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang cara mencari rezeki dengan menzalimi atau menjatuhkan orang lain?

Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) KH Mahbub Maafi mengatakan, Islam memberikan tuntunan dalam mencari rezeki harus dengan cara yang baik. Muslim dilarang memperoleh rezeki dengan cara-cara yang batil dan menzalimi pihak lain.

Tentang larangan memperoleh rezeki dengan cara yang batil ini dapat ditemukan pada Alquran Surah al-Baqarah ayat 188. Orang yang memperoleh rezeki dengan cara batil atau dengan menzalimi pihak lainnya telah melakukan dosa dan akan mendapat siksaan di akhirat kelak. 

“Ini jelas larangan bagi kita kaum Muslim memakan harta di antara kita itu dengan cara-cara yang tidak dibenarkan. Seperti mendapat rezeki dari menyebar hoaks. Hoaks itu menjerumuskan orang pada kegaduhan sosial, termasuk fasadul fil ardhi, tindakan merusak tatanan dunia. Itu jelas tidak diperbolehkan, jelas dosa, dan melakukannya akan masuk neraka,” kata Kiai Mahbub Maafi kepada Republika, beberapa hari lalu.

Kiai Mahbub mengajak setiap individu Muslim mengevaluasi diri dan pekerjaannya. Sebab, menurut dia, banyak orang yang tidak menyadari bahwa upah atau keuntungannya ternyata diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar.

Lebih lanjut Kiai Mahbub menjelaskan, seseorang yang telah terjerumus memperoleh rezeki dengan cara batil, maka hendaknya segera bertobat. Bila rezeki itu diperoleh dengan cara seperti mencuri, hendaknya mencari pemiliknya dan mengembalikannya. Namun, bila tidak diketahui pemiliknya, rezeki yang diperoleh dengan cara batil itu hendaknya diberikan untuk kemaslahatan publik. 

Menurut Kiai Mahbub, secara prinsip semua pekerjaan itu dibolehkan kecuali yang dilarang oleh syariat Islam. Namun, bila menilik sejumlah riwayat, berdagang menjadi pekerjaan yang utama dilakukan.

Kendati demikian, menurut dia, yang terpenting dalam setiap pekerjaan adalah senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, profesionalisme, dan tidak mengambil hak orang lain dengan cara batil atau berbuat zalim. Selain itu, tidak melakukan riba, manipulasi, dan lainnya. 

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ahmad Fahrur Rozi juga menegaskan bahwa Islam melarang segala bentuk upaya mendapatkan rezeki dengan cara-cara yang zalim dan haram, seperti memfitnah, menjatuhkan orang lain, dan menipu.

Menurutnya, orang yang memperoleh rezeki dengan cara menzalimi orang lain akan berdampak pada perilaku kesehariannya. Hidupnya tidak tenang dan selalu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. 

“Setiap asupan yang masuk ke dalam tubuh manusia akan memengaruhinya, baik secara fisik, emosional, psikologis, maupun spiritual, dari makanan haram akan timbul pikiran dan perbuatan haram dan menyebabkan masuk neraka,” kata Gus Fahrur. 

Rasulullah SAW bahkan mengingatkan sahabat Kaab bin Ujroh bahwa badan yang tumbuh dari perkara haram berhak dibakar api neraka. Keterangan ini dapat ditemukan pada hadis riwayat Imam Tirmidzi. Sebaliknya, menurut Gus Fahrur, rezeki yang diperoleh dengan cara yang baik dan halal akan menghadirkan ketenangan dalam jiwa.

Orang yang menggunakan rezeki yang halal hidupnya akan terarah dan penuh keberkahan. Selain itu, menggunakan rezeki yang halal, menurut Gus Fahrur, menjadi syarat diterimanya setiap doa oleh Allah.

Sementara, orang yang terbiasa menggunakan harta haram doanya pun terhalang. “Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan,” ujarnya.

Jangan Kerja di Jalan Setan

anyak orang larut dalam rutinitas kerja harian. Mereka asyik mengerjakan tugas yang diperintahkan atasan, tanpa mengetahui dasar agama tentang cara bekerja. Padahal, itu adalah hal mendasar agar kerja dilakukan sesuai dengan tuntunan Islam.

Seperti apakah Islam memandang pekerjaan? Wartawan Republika Andrian Saputra mewawancarai Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ahmad Zubaidi untuk menjawab permasalahan tersebut pada Rabu (29/6). Berikut petikannya:

Seperti apa etika bekerja dan cara mengamalkannya sesuai tuntunan Islam?

Islam memerintahkan supaya umat Islam dalam berbuat apa pun termasuk bekerja harus karena Allah SWT. Jadi, tidak sekadar karena target yang ditetapkan pimpinan, tapi bekerja karena Allah SWT. Kalau bekerja karena Allah, itu yang semula hanya konteksnya hubungan dengan manusia, tapi diniati karena Allah menjadi bernilai ibadah.

Jadi, seorang Muslim ketika bekerja di manapun, kalau Lillahi Ta’ala insya Allah mendapatkan nilai dunia dan akhirat. Ada ‘hasil keringat’ dan ridha Allah yang didapat. 

Karena itu, dalam mengamalkan etika bekerja dalam Islam ini tentu kita menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, etika menghargai pimpinan, kemudian etika sopan dan menghargai teman sekerjanya, bekerja dengan ikhlas, bekerja dengan cerdas dan bekerja dengan penuh kesabaran. 

Apa pun kesulitan yang kita hadapi dalam pekerjaan itu kita harus bersabar. Insya Allah kesulitan apa pun kalau kita sabar akan ada jalan keluarnya. Bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan. Karena itu, seorang Muslim bekerja dengan menerapkan nilai-nilai itu. 

Bagaimana cara menjaga akhlak dalam bekerja?

Kita menghargai pimpinan. Harus berhubungan baik dengan rekan kerja, mengedepankan sopan santun, kemudian sabar, ikhlas karena Allah dan dalam bekerja itu harus qanaah, yaitu menerima dan merasa cukup. Karena kalau kita tidak qanaah, gaji sebesar apa pun akan tidak cukup, terasa kurang terus. 

Ketika kita merasa kurang dengan gaji kita, itu akan memengaruhi profesionalitas pekerjaan kita. Jadi, kita pun harus profesional. Apa yang menjadi tugas kita harus profesional. Supaya dengan profesional itu berarti kita mempertanggungjawabkan pekerjaan kita di hadapan pimpinan kita dan di hadapan Allah SWT.

Kita juga harus menganggap bahwa pekerjaan itu amanah. Orang Islam itu ketika diberi amanah harus menunaikannya. Kita diberikan amanah suatu pekerjaan lalu kita komitmen melakukan pekerjaan itu ya kita harus mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Tidak boleh kita tidak komitmen. 

Ada contoh lain?

Umpamanya kita sudah teken kontrak siap dengan pekerjaan itu lalu setiap menyelesaikan tugas ngomel-ngomel, merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya, ya tidak boleh. Kalaupun ada tuntutan kepada pimpinan, perusahaan, sampaikan dengan cara yang baik. Jangan dengan cara yang maki-maki, apalagi anarkistis. Itu tidak diperkenankan.

Kalau kita bekerja dengan baik, amanah, dan disertai akhlak mulia, akan nyaman di manapun dia bekerja. Akan asyik senang bahagia. Tapi, kalau hati kita tidak qonaah, selalu ngedumel, selalu tidak nyaman dengan pekerjaannya, merasa selalu tertekan dengan pekerjaannya yang dibebankan oleh atasan, kita tidak akan pernah nyaman dalam bekerja di manapun.

Bagaimana agar bekerja menjadi maksimal tanpa menzalimi pihak lainnya?

Dalam hubungan pekerjaan itu yang jelas kan tak boleh saling menzalimi. Atasan tidak boleh menzalimi bawahan. Demikian juga bawahan tidak boleh menzalimi atasan.

Kezaliman atasan kepada bawahan seperti diberikan beban melebihi kontrak yang telah diberikan atau kemudian gajinya ditunda-tunda, tidak ditunaikan sesuai perjanjian itu jelas menzalimi, jam kerja juga tidak sesuai dengan perjanjian itu juga menzalimi. 

Demikian juga seorang bawahan bisa menzalimi atasannya manakala dia bekerja tidak jujur, korupsi waktu atau kerja ngga maksimal, kerja tidak profesional itu menzalimi pimpinannya yang telah memberikan tugas untuk bekerja secara profesional. Karena itu, dengan kita bekerja dengan sebaik baiknya itu, kita telah mempersembahkan yang terbaik di hadapan pimpinan kita dan Allah SWT.

Seperti apa kedudukan orang yang bekerja dan menafkahi keluarganya dengan harta yang halal?

Ketika kerja dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah, kita bekerja untuk keluarga, untuk orang tua, maka itu fi sabilillah, itu seperti orang yang sedang berperang di jalan Allah. Jadi, orang yang bekerja ikhas, dilakukan secara profesional, dalam rangka menghidupi keluarganya, orang tuanya, anak istrinya, itu semua kata fi sabilillah itu dalam rangka dia berjuang di jalan Allah. 

Namun, sebaliknya, orang yang bekerja yang di pikirannya duit saja, hanya ingin memperbanyak uang dan tidak dipergunakan sebaik-baiknya dalam ketaatan kepada Allah, kata Rasulullah SAW orang seperti itu adalah fisabili syaitan, dia itu orang-orang yang menempuh jalan setan.

MAN

Sumber Republika

Baca juga : Proses Pemulangan Jamaah Haji, Wamenag Jelaskan Dimensi Haji Mabrur

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy