Kartini dan Fitrah Perempuan Membangun Peradaban Bangsa
Ibadah.co.id – Setelah sebulan berpuasa tiba masanya kegembiraan umat Islam di Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri bermakna kembali kepada kesucian, yang menjadi fitrah manusia. Syekh Mustafa al-Maraghi menyatakan, yang dimaksud dengan “fitrah” adalah kesiapan mental untuk menerima kebaikan dan agama lurus (hanif) yang mengajarkan nilai-nilai ketauhidan.
Berdasarkan tafsir ini sesungguhnya manusia ketika lahir diliputi potensi kebaikan. Yakni, keadaan yang berpihak pada kebaikan dan kesucian sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum: 30).
Fitrah seseorang berarti ia memiliki hati suci, bersih dari noda, dan tidak ingin menjadi kotor. Ini sesungguhnya potensi dasar yang dimiliki manusia sejak dilahirkan ke dunia. Oleh karenanya, jika ada tekanan terhadap hak-hak dasar kemanusiaan, maka sesungguhnya ia sendiri memiliki potensi untuk melakukan perlawanan.
Misi pembebasan Islam sangat terlihat dalam konteks pemurnian fitrah kemanusiaan yang dimulai dari purifikasi keyakinan tercermin dalam konsep tauhid. Tauhid sebagai misi profetis dalam bentuk pengesaan Tuhan berkonsekuensi pada pengakuan atas kesetaraan (ekualitas) manusia sebagai hamba-Nya.
Misi pembebasan Islam sangat terlihat dalam konteks pemurnian fitrah kemanusiaan yang dimulai dari purifikasi keyakinan tercermin dalam konsep tauhid.
Namun, potensi kesucian yang dimiliki manusia seringkali terkikis oleh gangguan terutama dari luar dirinya. Kondisi lingkungan keluarga, faktor pergaulan sosial, budaya, kondisi ekonomi, dan lainnya turut membentuk dan berkontribusi dalam mengisi potensi fitrah terebut.
Oleh karena itu, orang yang fitrah selayaknya mampu membentengi diri dari godaan yang tidak baik dan dari perbuatan tercela di mata agama, hukum, maupun budaya. Sebagai khalifah, manusia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk memakmurkan bumi dan alam semesta (QS al-Baqarah: 30).
Fungsi kekhalifahan ini juga menegaskan terbentuknya tatanan pranata sosial yang adil, demokratis, setara, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Antara satu dengan yang lain memiliki relasi sejajar. Di antara mereka tidaklah dianggap sebagai subordinasi.
Oleh karena itu, secara historis sosiologis kehidupan keduniaan harus didasarkan atas kevalidan secara rasional. Fitrah kemanusiaan sejatinya melampaui sekat gender. Ia merupakan titipan Tuhan dalam bentuk pemuliaan semua anak Adam, tanpa memandang ras, etnis, bahasa, jenis kelamin, bahkan agama.
Misi profetis ini mengalami deviasi saat berjumpa dengan ragam budaya yang didominasi maskulinitas. Dominasi yang tidak hanya dalam bentuk eksploitasi berdasarkan identitas, tetapi juga menggerus nilai kemanusiaan dalam beragam bentuknya, termasuk hegemoni tafsir teks kitab suci, struktur, maupun kultur budaya yang memunculkan situasi dan kondisi ketidakadilan gender, kekerasan terhadap perempuan, marginalisasi, stereotipe yang meminggirkan perempuan.
Abdullah Ahmad an Naim dalam bukunya Toward an Islamic Reformation (1994:339) mengatakan bahwa segala bentuk diskriminasi atas nama gender atau apapun yang bertentangan dengan tujuan syariah (maqashid al syariah) dalam menciptakan keadilan adalah juga berarti melanggar hak asasi manusia.
Kuatnya budaya maskulinitas menambah fitrah perempuan semakin samar. Fitrah perempuan ditentukan berdasarkan standar maskulinitas yang bahkan menjadi kesadaran palsu di kalangan perempuan itu sendiri. Maskulinitas telah menjadi budaya hegemonik yang dinikmati dan menjadi masif.
Inspirasi Kartini
Kartini adalah sosok yang berusaha memerankan fitrahnya. Sebagai perempuan dalam hegemoni budaya paternalis, kesadaran Kartini tentang urgensi pengetahuan adalah ikhtiar menuju fitrahnya. Kesadaran yang membuka ruang pengetahuan sekaligus reposisi dari perempuan pasif menjadi aktif. Kartini tidak hanya belajar tentang terang dari gelap, tapi tentang pesan agung agama yang semakin mendekatkan diri pada fitrahnya. Kartini telah melakukan edukasi publik dan literasi kepada masyarakat bahwa secara fitrah manusia, laki laki maupun perempuan, memiliki peran dan fungsi sosial yang sama.
Kontribusi dan peran perempuan memberikan energi untuk memajukan bangsa karena mengajarkan seorang perempuan adalah berarti mencerdaskan keluarga dan berdampak pada kemajuan bangsa. Dalam Alquran dijelaskan, “Barangsiapa baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan kebaikan (amal saleh) sedang dia dalam keadaan beriman maka dia akan diberikan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dan Allah akan lipatgandakan pahalanya yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” (QS an-Nahl: 97).
Dalam konteks ayat ini sama sekali Allah tidak membedakan laki-laki maupun perempuan untuk melakukan berbagai aktivitas. Semua mendapatkan pengakuan serta balasan sama. Perempuan dan laki-laki memiliki fungsi mengelola dan memimpin bumi ini sehingga mencapai kemakmurannya. Makna emansipasi adalah pelibatan perempuan bersama laki laki dalam melakukan fungsi sosial membangun bangsa.
Kesetaraan dan keadilan gender adalah ruang di mana perempuan dapat optimal memainkan peran dan fungsi sosialnya dalam berbagai dimensi.
Kesetaraan dan keadilan gender adalah ruang di mana perempuan dapat optimal memainkan peran dan fungsi sosialnya dalam berbagai dimensi. Akan tetapi, fakta menunjukkan ketimpangan gender di masyarakat masih terus terjadi.
Riset bertajuk Global Gender Gap Report 2021 dari World Forum menyebutkan bahwa banyak negara masih menghadapi masalah ketimpangan gender. Secara umum riset ini memproyeksikan kesetaraan gender akan tercapai dalam waktu 135 tahun ke depan dan kondisi pandemi turut andil dalam memperburuk ketimpangan gender di berbagai belahan dunia.
Berbagai persoalan nasional memerlukan perhatian perempuan adalah kemiskinan, kelaparan, tingkat pendidikan, partisipasi kerja, kekerasan terhadap perempuan dan anak, angka stunting akibat gizi buruk, dampak sosial media, perilaku berisiko pemuda, dan lainnya.
Demikian juga tantangan eksternal berupa globalisasi, kondisi pasca pandemi membutuhkan recovery kesehatan, mental, dan ekonomi. Revolusi industri 4.0 dan society 5.0 yang bertumpu pada kekuatan teknologi informasi. Sistuasi yang berubah dengan cepat ini membuat perempuan harus berperan aktif dan berkotribusi terutama dalam memperkuat ketahanan keluarga, menjaga keselamatan bangsa dan negara terutama dalam pembentukan karakter bagi pembangunan manusia Indonesia unggul di masa depan.
Di era sekarang, Kartini bukan hanya pada sosok, tapi juga semangat, nilai, dan orientasi tentang sisi kemanusiaan yang setara. Terlebih saat ini kita selesai menempa diri sebulan penuh untuk mengasah rasa pada diri dan sesama melalui puasa.
Pada konteks inilah spirit Kartini penting untuk melahirkan perempuan yang tidak pernah lelah mencari pengetahuan sekaligus menemukan fitrahnya dalam budaya sebagai bagian dari pesan agama. Kartini memberikan inspirasi besar bagi perempuan untuk memilki peran substantif bagi membangun peradaban bangsa.
*Tulisan ini pernah dipublish oleh republika pada 20 April 2023
PENULIS: PROF EUIS AMALIA; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis