Jakarta, Ibadah.co.id –Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan Tausiyah Idulfitri 1445 H Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) pada Sabtu (27/4) di Aula Masjid Al Furqan, Jakarta Pusat.
Dalam paparannya, Haedar menyampaikan tentang persinggungan antar organisasi Islam di Indonesia yang saling berarsian dengan Partai Masyumi. Tidak hanya sebagai kanal politik umat Islam, Masyumi juga wadah titik temu dan merajut kekuatan umat.
Namun demikian, pada 1962 dinamika politik nasional begitu keras sehingga Masyumi berakhir. Melihat bentangan sejarah itu, Haedar mengajak umat Islam untuk belajar dari situasi tersebut jika ingin kembali merajut kekuatan umat.
Muhammadiyah merespon situasi kebangsaan saat itu dengan manuver gerakan dakwah, yang dikodifikasi dalam Kepribadian Muhammadiyah. Pada fase itu Muhammadiyah menarik garis gerakan politik praktisnya.
“Muhammadiyah menarik gerakan politik praktis, tetapi tetap menjalankan politik kebangsaan, antara mudah dan tidak. Tetapi itulah dinamika perjuangan kita,” kata Haedar.
Ternyata yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu memiliki kesamaan dengan garis dakwah yang dilakukan oleh DDII. Namun menurut Haedar itu tidak cukup, sebab yang paling mendesak saat ini adalah dengan terus meningkatkan silaturahmi.
“Silaturahmi itu bukan hanya mempertautkan hubungan yang sudah tersambung, itu lebih muda,…. Tetapi silaturahmi yang lebih jauh adalah mempertautkan hubungan yang terputus,” kata Haedar.
Menyinggung irisan antara Muhammadiyah dengan DDII, Haedar menyebut keduanya memiliki irisan yang tebal. Termasuk ketirisan tokoh-tokoh pendirinya misalnya M. Natsir, Mohammad Rasjidi, dan seterusnya.
Secara pribadi Haedar juga memiliki kedekatan dengan M. Natsir terlebih melalui karya-karyanya, diantaranya adalah Buku Kapita Selekta, Fiqhud Dakwah, dan lain sebagainya telah ada di rak buku kakak dan orang tuanya dan dibaca Haedar sejak remaja.
Haedar juga mengaku pada usia remaja sudah mengikuti perdebatan antara M. Natsir dengan Sukarno tentang Nasionalisme dan Islam. Bahkan melalui Buku Di Bawah Bendera Revolusi, Haedar mengetahui kalau Sukarno adalah Warga Muhammadiyah.
Mengenang ketegangan yang terjadi di antara tokoh terdahulu, meski terjadi kontradiksi di antara mereka, namun tetap memegang kuat silaturahmi. Tidak hanya antara M. Natsir dengan Sukarno, tapi juga dengan Buya Hamka.
Sumber : Muhammadiyah