Ibadah.co.id- Islam dan jihad belakangan ini menjadi agama yang marak dibicarakan. Sebagian orang berpikir, Islam sebagai agama doktriner yang mencetak generasi fanatis dan pro-kekerasan. Sebagian yang lain gencar menjelaskan bahwa Islam adalah agama pembawa risalah perdamaian dan mempunyai magnet sosialisme yang mendalam.
Lantas yang menjadi benang merahnya, setiap orang melihat Islam dari sudut pandang yang diinginkannya. Maka tidak diragukan lagi jika terdapat berbagai macam pemahaman dalam merefleksikan agama Islam itu sendiri. Namun, jika kita sedikit menengok kitab suci al-Qur’an, tidak akan ditemukan seruan untuk merefleksikan Islam dalam rupa kekerasan.
Memang tidak salah anggapan bahwa prilaku pemeluk Islam jauh dari harapan. Terlebih lagi maraknya virus jihad yang mulai mendoktrinasi sebagian muslim itu sendiri. Mereka menganggap gelaran aksi penolakan terhadap perubahan, tidak mengakui sistem demokrasi, serta formalisasi “jilbab” terhadap semua agama sebagai aksi bela Islam.
Penyalahgunaan Jihad
Pada masa akhir-akhir ini, penggunaan kata jihad terlampau salah digunakan. Sungguh menjadi sesal, bukan hanya non-muslim namun muslim sendiri yang merasa malu atas tindakan tak manusiawi saudara seimannya. Golongan ini mengatakan bahwa jihad sebagai pintu masuk tindakan militansi dan peperangan untuk membuka babak baru penyebaran agama.
Kelompok jihad dalam masyarakat muslim hari ini, telah memutilasi rasa keadilan demi sebuah sistem kepentingan. Dengan buru-buru mereka memutus permasalahan dengan kekerasan tanpa memikirkan langkah perdamaian yang dapat diambil untuk memutus permasalahan.
Substansi Perdamaian
Jika diruntut dari makna aslinya, jihad berasal dari kata jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Dari sini jelas terlihat bahwa kata jihad digunakan untuk menjalankan segala usaha untuk menterjemahkan agama Islam atau berusaha sungguh-sungguh untuk mengaplikasikan Islam dalam situasi baru.
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Q.S Al-Hajj: 78).
Jika kata “jihad” tersebut bermakna “perang” maka tidak akan diikuti dengan kalimat “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” Karena Allah membuka agama selebar-lebarnya agar umatnya bisa menemukan makna toleransi itu sendiri. Kemudian, membuka celah perbedaan agar muslim bersungguh-sungguh mencari sisi baik untuk membangun rasa persaudaraan dan menjalin perdamaian.
Begitulah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, ketika ekspedisi pertama ke Mekah, Nabi menciptakan perjanjian Hudaibiyah dibandingkan dengan pertumpahan darah. Kendati penduduk kafir telah menyiksa dan memaksa umat Islam habis-habisan untuk keluar meninggalkan agama Islam. Namun, demikian Nabi tetap menjalin kerjasama dengan mereka dan memaafkan segala prilaku yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Perdamaian adalah perkara paling mendasar dalam Islam. Seperti yang dikatakan para akademisi dan sejumlah ulama, Islam berasal dari kata salama yang berarti menciptakan keselamatan, kedamaian dan tunduk pada kehendak Allah. Ini adalah tugas yang mengikat setiap muslim untuk berusaha keras menciptakan perdamaian.
Transformasi Jihad
Jihad sesungguhnya adalah bekerja keras menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh alam. Hendaknya diingat, konteks peperangan hendaknya ditempatkan pada abad pertengahan dimana Nabi Muhammad dan para sahabat harus berhadapan dengan situasi nyata yang mengancam dan apabila tidak dilaksanakan peperangan nyawa mereka yang menjadi taruhannya.
Nabi berusaha keras agar peperangan tidak terjadi di Mekah. Bahkan setelah kemenangan Islam tiba, Nabi tidak serta merta memerintahkan untuk membunuh mereka yang tidak mau memeluk agama Islam. Namun, dengan sifat pemaafnya, Nabi merangkul penduduk Mekah baik yang beragama Islam maupun yang tidak untuk dijadikan suatu kekuatan besar.
Telah tiba masanya untuk mengembalikan sistem rahmatan lil alamin agama Islam. Jargon lama yang diteriak-teriakkan. Namun, minim pelaksanaan. Pemikiran Qur’ani bukan hanya dinamis dari transformatif, tetapi juga tradensi melampaui batas-batas struktur sosial. Keadilan, kasih sayang, dan kearifan yang mulai hilang harus kembali dihidupkan.
Kita harus lebih kritis terhadap struktur sosial yang ada, bahwa kekerasan hanya diperkenankan sebagai sarana melindungi diri dalam keadaan terdesak pada aturan yang ketat. Pelanggaran atas norma ini akan mendapatkan sebutan dzalim, bukan jihad yang mendapat keutamaan besar. (RB)