Kita Terlahir Hanya Karena Karunianya, Bersyukurlah!
Ibadah.co.id – Setelah melalui beberapa fase proses penciptaannya, kemudian ditiupkanNya ruh Illahiah ke dalam tubuh manusia tersebut hingga benar-benar ‘ada’ atas segala karunia yang telah Allah kehendaki.
Manusia sejatinya diciptakan atas kekuasaan dan kemurahatian Allah SWT. Ia meletakkan salah satu kerunianya pada detak nadi manusia, seperti yang dijelaskan oleh Abdul Karim Munthe selaku Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Hadis El-Bukhari Institute.
Dilansir dari republika.co.id, Abdul Karim berkata “Allah itu bermurah hati pada manusia, diciptakannya kita (manusia). Ini tak lain dan tak bukan karena karuniaNya,”
Menurutnya, mengutip beberapa dalil di dalam Alquran, manusia mengalami beberapa fase hidup dan mati. Misalnya, sebelum dilahirkan ke dunia, sesungguhnya manusia pernah mengalami fase mati dan menjadi intisari-intisari alam. Dalam fase mati ini kemudian manusia berada di fase rahim yang mana manusia telah menerima perjanjian kodrat yang Allah beri.
Dan setelahnya, manusia pun menjalani hidup di dunia yang sangat sebentar dan sementara. Dia menjabarkan bahwa nantinya setelah fase hidup di dunia, manusia akan mengalami fase mati kembali dan menjalani hidup di alam kubur hingga Hari Akhir menjemput. “Baru setelah fase di alam kubur inilah, manusia akan berada di fase akhirat. Kehidupan yang abadi,” kata dia kepada tim Republika.
Karena terdapat unsur karunia Illahiah dari berhembusnya ruh manusia, manusia harus terus mengimbangi dirinya dengan perbuatan-perbuatan baik. Dia mengingatkan bahwa dunia hanyalah kehidupan sementara yang harus dilalui dengan tidak tergesa-gesa dan juga tidak perlu dirisaukan.
Manusia adalah makhluk yang berasal dari Alla SWT, seperti yang ditulis Haidar Baghir yang merupakan salah satu Cendikiawan Islam dalam bukunya yang berjudul Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan.Mengutip pemikiran Sufi Jalaludin Rumi, Haidar menyebutkan bahwa manusia itu diibaratkan beberapa bilah bambu yang dicabut dari rumpunnya.
Maksudnya, manusia berasal dari Allah dan kini terpisah dari-Nya. Kerinduan akan perpisahan tersebut diibaratkan Rumi dengan merdunya suara seruling bambu yang menyayat hati. Begitulah kiranya orang-orang yang mencintai Allah, rindu terus membuncah dan segera ingin kembali.
Menurut beliau, kehidupan manusia sesungguhnya adalah perjalanan mengenai pergi dan pulang. Dari suatu mabda’ (tempat berangkat) menuju suatu ma’ad (tempat kembali) yang tak lain dan tak bukan merupakan tempat berangkatnya manusia: Allah SWT.
Allah berfirman dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 156 berbunyi: “Alladzina idza ashabathum mushibatun qalu innalillahi wa inna ilahi rajiun,”. Yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: innalillahi wa inna ilahi rajiun (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali),”.
Lebih lanjut beliau membeberkan, dalam kebijaksanaan (hikmah) Islam, satu siklus lengkap perjalanan hidup manusia melewati dua busur yang membentuk sebuah lingkaran penuh. Yakni al-qaws al-nuzul (busur turun) yaitu dari Allah ke alam ciptaan, dan al-qaws al-su’ud (busur naik) yaitu dari alam ciptaan kembali kepada Allah.
Untuk itulah, kodrat manusia sesunggungnya adalah damai dan kasih sayang Allah. Kebagaiaan terletak pada kelancaran perjalanan pulangnya manusia ke pangkuan Allah SWT. Sebab, sebagaimana yang Rumi rasakan, keterpisahan manusia dari Allah adalah penderitaan dan kesengsaraan, meski tak banyak di antara manusia umumnya yang menyadari hal ini.
Alkisah, terasinglah sebilah bambu dari rumpunnya. Dan kini bambu tersebut lahir sebagai wujud yang baru, yakni seruling. Ia dirundung duka dan kerinduan yang tak berkesudahan, setiap kali seruling ditiup, ia dirundung duka yang tak berkesudahan meskipun alunan nada darinya membuat sejuk setiap pasang telinga yang mendengar.
Berbahagialah, atas karunia Allah kita telah dilahirkan ke dunia. Hanya karena rindu pada Allahlah yang seharusnya membuat kita bersedih. Tetaplah bahagia di kala manusia menjalankan tugasnya di dunia.(HN/Ibadah.co.id)