Take a fresh look at your lifestyle.

Katib Aam PBNU Ungkap Gerakan Radikalalisme dan Terorisme

111

Ibadah.co.id – Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf mengungkap gerakan radikalisme dan terorisme. Ia mempertanyakan, apakah gerakan radikalisme dan terorisme memang memiliki agama atau tidak?

Seperti dilansir republika.co.id pada 24/12/20, gerakan radikalisme dan terorisme mempunyai akar sejarah yang panjang, tidak saja menjadi masalah Islam tetapi hampir semua agama di dunia. 

Hal itu dikatakan Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, saat membawakan materi bertajuk Genealogi Ekstremisme/Radikalisme dan Ancaman bagi Indonesia, dalam Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Tingkat Nasional (DIKLATPIMNAS) di hadapan 80 aktivis Mahasiswa PTKI se-Indonesia, Rabu (22/12). 

Kiai Yahya menegaskan pandangan radikalisme dan terosrisme mendapatkan dukungan dari sebagaian umat beragama, karena disandarkan pada referensi yang muncul pada Abad Pertengahan Islam. “Paham itu sekarang tidak relevan lagi dalam konteks negara bangsa modern, seperti sekarang ini di mana antar bangsa sudah membaur”, katanya. 

“Generasi milenial termasuk Anda semua harus melakukan riset sejarah untuk melacak akar radikalisme dalam Islam, apakah benar terorisme tidak mempunyai agama dan tidak ada hubungannya dengan agama termasuk Islam?,” tutur dia.

“Saya menolak keras anggapan itu karena itu bukti ketidakjujuran akan fakta-fakta historis, karena wacana itu dalam Islam kita temukan cangkolan literaturnya di sekitar pertengahan abad ke 15,”  kata Pengasuh Pesantren Raudlotut Tholibin Rembang ini.  

Kiai Yahya menguraikan, gerakan radikal belakangan di sebut sebagai gerakan takfiri, karena kerap mengkafirkan sesama Muslim. “Gerakan takfiri berbahaya karena menganggap, setiap orang kafir harus dimusuhi, halal darahnya dan halal kehormatannya. Sebaliknya jika kita Muslim maka haram darahnya, kehormatan dan hartanya.” 

Bagaimana dengan  orang-orang yang benar-benar kafir (selain Islam)?,” tanya Gus Yahya. “Kalau merujuk pemikiran Islam Abad Pertengahan, konsekuensi adalah orang “kafir” itu tidak perlu mendapatkan perlindungan, mereka halal darahnya dan halal segala-galanya oleh penguasa,” terangnya.  

Diklatpimnas diselengarakan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam bekerjasama dengan Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Walisongo. Berlangsung selama sepuluh hari, 20-26 Desember 2020 berlangsung secara online dan 28-30 Desember secara offline.  

Untuk mengatasi gerakan extrimisme dan radikalisme, mantan juru bicara presiden era KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini memandang perlunya mengidentifikasi dan mengakui masalah agama dan radikalisme secara jujur dan diikuti dengan membangun wacana baru tentang Islam.

Terkait wacana baru, Kiai Yahya mencatat, Muhammadiyah telah menelorkan konsep darul ahdi wa syahadah dan NU melalui Munas di Banjar 2019 telah merumuskan lima hal penting, yaitu (a) Katagori kafir tidak relevan dalam negara modern, (b) mendirikan khilafah bukan kewajiban agama, (c) syariat tidak boleh dipertentangkan dengan hukum positif artinya setiap Muslim mempunyai kewajiban syari terhadap hukum negara, (d) konflik yang melibatkan antar-Muslim, tidak boleh terlibat atas nama Muslim tetapi harus atas nama perdamaian.  Selain itu lanjut Kiai Yahya  pentingnya resolusi konflik dan reformasi pendidikan keagamaan, karena masih ada kurikulum pendidikan keagamaan yang kuirang menampilkan wajah keagamaan yang moderat dan damai. (RB)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy