Ibadah.co.id – Labbaikallahumma labbaik. Labbaikala syarikala kalabbaik. Gema talbiyah keluar dari mulut Fahrurrazi. Suaranya terdengar sendu. Keharuan tak mampu lagi membendung titik-titik air mata pria yang menjadi Tim Pemandu Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) itu.
Di sebuah bus bernomor 9, dia memandu para jamaah untuk bertalbiyah dan memanjatkan doa sebelum mengambil miqat untuk berihram di Bir Ali, Madinah. Ahad (12/3) itu menjadi momentum perdana jamaah haji Indonesia gelombang satu untuk berangkat menuju Makkah. Jamaah dari Kloter Jakarta-Pondok Gede (JKG) 01 dan Solo (SOC) 01 yang mengawalinya.
Mereka akan menumpang 18 bus untuk pergi bergeser ke Masjidil Haram. Saya ikut menumpang untuk mengambil foto dan video. Seorang jamaah perempuan yang sudah paruh baya berkata kepada saya. “Busnya masih baru ya. Coba cium baunya,” ujar jamaah itu.
Armada yang akan mengantar para jamaah itu memang bukan sembarang. Kepala Seksi Transportasi Daker Madinah PPIH Arab Saudi Zainal Muttaqin Arifin mengungkap jika syarat untuk menjadi armada bus jamaah RI mesti berusia tertua 2017. Mereka pun dilengkapi dengan global positioning system (GPS) agar bisa dipantau petugas. Panitia agaknya tak ingin mengulang pengalaman pada musim haji sebelumnya. Bus jamaah Indonesia pergi tanpa melewati Bir Ali.
Ada 1.023 bus yang disiapkan untuk mengantar setidaknya 46 ribu jamaah yang berasal dari 115 kloter. Mereka akan berangkat secara bergelombang usai menunaikan ibadah sholat Arbain. Dua jam sebelum berangkat, bus-bus itu akan dicek kelengkapannya dari penyejuk udara (AC), mesin, hingga tahun terakhir bus diproduksi.
Zainal tak ragu memulangkan armada darat tersebut bila tak sesuai kontrak. Dia tak ingin mengambil risiko ada bus yang mogok di tengah jalan. Saya tak bisa mengantar jamaah sampai ke Makkah. Meski begitu, saya tahu rasanya bagaimana jenuhnya berada di dalam bus selama enam jam saat berangkat dari Makkah ke Madinah.
Semua tampak baik-baik saja saat kami meninggalkan Makkah pada Kamis (2/6) sekitar jam delapan pagi WAS. Bus yang kami tumpangi pun terbilang nyaman untuk menjadi tempat istirahat setelah menjalankan umrah wajib semalam. Hanya saja, mata saya tak bisa terpejam. Saya memilih untuk menonton pemandangan di luar jendela. Gunung batu dan hamparan padang pasir yang tandus. Tidak ada hijau-hijaunya.
Setelah tiga jam perjalanan, bus kami pun berhenti sejenak di daerah Al-Bi’ar untuk shalat, makan siang, dan mengisi bensin. Di situlah pengalaman pertama saya bersinggungan langsung dengan cuaca siang di jalur penghubung dua kota suci. Suhu yang sudah mencapai 46 derajat seakan bertambah dengan embusan angin gurun pasir. Wajah seperti hendak mencium setrika. Panas!
Suhu yang sama saat saya sampai di Madinah. Lelah kami terasa bertambah dengan cuaca yang terik dan kering. Di situ kiranya salah satu ujian yang harus kami tempuh. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Tidak seseorang bersabar atas panas dan dinginnya Madinah, kecuali aku akan menjadi pemberi syafaat dan saksi untuknya di Hari Kiamat.” (HR Muslim).
Saya membayangkan bagaimana Rasulullah SAW harus menempuh perjalanan hingga 450 kilometer dengan berkendara unta. Ditemani sahabat setianya, Abu Bakar As-Shiddiq, beliau diperintah Tuhan untuk hijrah ke Madinah. Rasulullah meninggalkan Ali bin Abi Thalib demi mengelabui kaum kafir Quraisy. Nabi juga menempuh jalur ke arah selatan (rute ke Yaman) demi mengecoh musuh.
Di Jabal Tsur, mereka sempat bersembunyi selama beberapa malam. Terdengar suara seorang gembala yang sedang bercakap-cakap dengan sekelompok Quraisy. “Mungkin saja mereka dalam gua itu, tapi saya tidak melihat ada orang yang menuju ke sana,” ujar sang gembala seperti dikutip dari Sejarah Hidup Muhammad karangan Muhammad Husain Haekal.
Abu Bakar terlihat berkeringat mendengar jawaban itu. Dia khawatir mereka menyerbu ke dalam gua. Dia pun menahan napas tidak bergerak. Dia serahkan nasibnya kepada Allah Sang Penguasa. Orang-orang Quraisy yang sempat menaiki gua itu kemudian turun kembali.
“Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir,” kata dia. Pemuda itu pun menjelaskan bahwa dia melihat ada dua ekor burung dara hutan di lubang gua itu. Karena itu, dia berkesimpulan tak mungkin ada manusia di dalamnya.
Setelah nyaris tertangkap jeratan musuh, mereka kemudian berputar ke arah utara dengan rute Hudaibiyah. Dua sahabat itu melanjutkan rencana perjalanannya ke Yastrib dengan melewati gunung dan lembah. Mereka melewati Jumum, Khulatsh, Ghadir Kham, al-Akhat, Yatamah, hingga sampai ke Quba.
Nabi tiba pada Senin, 12 Rabiul Awal di perbatasan Madinah itu. Tahun ke-13 sejak beliau diutus untuk mengemban risalah kenabian. Setelah tinggal tiga hari di Quba, nabi meletakkan batu untuk pembangunan masjid pertama dalam sejarah Islam.
Saya beruntung sempat menyambangi jejak petilasan tersebut setelah ikut berziarah ke Makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib di Jabal Uhud. Di dalam sejuknya mobil pabrikan Korea Selatan keluaran terbaru, saya berdoa agar ‘perjuangan receh’ ini bisa mendapat keberkahan di tempat yang menjadi saksi beratnya hijrah nabi. (MAN)
Story by : A Syalaby Ichsan
Baca juga : Pemakaman Muslim Awal di Suriah Terungkap Berkat Riset Studi!