Take a fresh look at your lifestyle.

Majelis Hukama Muslimin Bedah Piagam Persaudaraan Manusia

0 75

Jakarta, Ibadah.co.id –Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al Tayeb bersama pemimpin gereja Katolik Paus Fransiskus telah menandatangani Piagam Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan (Koeksistensi). Dokumen bersejarah ini ditandatangani pada 4 Februari 2019. Tanggal itu oleh PBB kemudian ditetapkan sebagai Hari Internasional Persaudaraan Manusia.

Direktur Majelis Hukama Muslimin (MHM) kantor cabang Indonesia Dr Muchlis M Hanafi mengatakan Piagam Persaudaraan disusun atas  kesadaran bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan dan diberi kemuliaan. “Piagam Persaudaraan ini berangkat dari nilai-nilai kemanusiaan. Manusia diberikan kebebasan yang harus dijaga, kebebasan beragama, kebebasan individu, kebebasan berpendapat, dan lainnya,” ujar Dr Muchlis M Hanafi di Jakarta, Sabtu (23/9/2023).

Hal ini disampaikan Dr Muchlis, panggilan akrabnya, dalam Diskusi dan Bedah Buku Piagam Persaudaraan Kemanusiaan. Diskusi ini diselenggarakan MHM kantor cabang Indonesia di stan pameran MHM pada Islamic Book Fair ke-21 di Istora Senayan, Jakarta. Hadir juga sebagai narasumber, Intelektual Al-Azhar Dr Salahuddin El Shami.

Dr. Muchlis lalu menjelaskan salah satu pesan penting dalam Piagam Persaudaraan Kemanusiaan, yaitu al Muwaathanah. Istilah ini terambil dari kata wathana yang berarti tanah air. Al-Muwaathanah bisa dipahami sebagai kewargaan negara atau kewarganegaraan, citizen ship.

“Istilah ini terinspirasi dari Piagam Madinah. Rasulullah ketika ke Madinah, membangun masyarakat Madinah yang diikat dalam Piagam Madinah,” sebutnya.

Menurut Dr Muchlis, Piagam Madinah antara lain mengatur bahwa seluruh masyarakat yang ada di Madinah, terlepas apapun suku dan agamanya, dianggap sebagai satu ummah (masyarakat). Sehingga, beragam kabilah dan agama yang ada di Madinah dapat dipersatukan.

“Rasulullah membangun persaudaraan. Rasulullah mempersaudarakan Aus dan Khazraj yang sudah berperang lebih 120 tahun. Rasulullah juga mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin, lalu mempersaudarakan beragam pemeluk agama dan kabilah,” terang Dr Muchlis.

“Inilah konsep muwaathanah,  membangun masyarakat tidak berdasarkan konsep suku dan agama tapi dalam satu tanah air. Dengan keragaman yang ada, membangun bersama tanah air,” sambungnya.

Dalam Piagam Madinah, lanjut Dr Muchlis, Nabi juga memberikan jaminan kepada orang Yahudi, Nasrani Najran, Majusi Persia, semua diberi hak dan kewajiban yang sama. “Semangatnya adalah kewargaan negara, bukan kewargaan agama,” tegasnya.

Kebijakan yang sama diterapkan Sayyidina Umar ketika menguasai Palestina. Sebelumnya, al-Quds dikuasai orang Kristen. Umar lalu mengikat perjanjian dengan mereka, yang dikenal dengan Al ‘Uqdah Al ‘Umariyah.

“Di antara kesepakatan itu, warga Kristen tidak boleh dipaksa meninggalkan agamanya. Rumah ibadah mereka juga tidak boleh dirusak. Kalau mereka meminta jaminan rasa aman, harus diberikan. Itu juga yang dilakukan Rasulullah dengan Nasrani Najran,” papar Dr Muchlis.

“Ini semangat yang dibangun sejak dulu, agar warga bisa rukun dalam keragaman agama, suku, bahasa, dan budaya. Agar mereka bisa saling menghormati,” sambungnya.

Semangat inilah, lanjut Dr Muchlis, yang dikembangkan MHM melalui beragam dialog antara timur barat, sesama muslim (Sunni & Syiah), serta dialog antaragama.

Sumber : Majelis Hukama Muslimin

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy