Ibadah.co.id-Indonesia membutuhkan Pancasila untuk mempertemkan pandangan bangsa yang berbeda-beda. Bahkan demi menyongsong moderasi beragama yang mapan Pancasila akan terus diperlukan oleh bangsa Indonesia agar mampu bertahan dalam berbagai macam perbedaan.
“Dengan bersikap moderat, masyarakat Indonesia akan terbiasa menghadapi perbedaan pandangan politik. Berbeda itu biasa tetapi tidak mengorbankan prinsip. Moderasi berarti membuka dialog dan bersikap terbuka tetapi bukan berarti tidak memiliki prinsip. Moderasi merupakan sikap tidak kaku ketika berbeda bukan berarti tidak bisa menjadi teman atau sahabat,” katanya, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
“Dengan bersikap moderat, masyarakat Indonesia akan terbiasa menghadapi perbedaan pandangan politik. Berbeda itu biasa tetapi tidak mengorbankan prinsip. Moderasi berarti membuka dialog dan bersikap terbuka tetapi bukan berarti tidak memiliki prinsip. Moderasi merupakan sikap tidak kaku ketika berbeda bukan berarti tidak bisa menjadi teman atau sahabat,” katanya, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
“Kesepakatan berupa Pancasila itu yang kita warisi bukan malah melanggengkan konflik. Sekarang ini ada kelompok yang mau menegakkan agama tetapi tidak menginginkan Pancasila dan ada juga kelompok yang seakan mau menegakkan Pancasila namun tidak menginginkan agama. Ini yang harus kita waspadai,” katanya.
Kajian InMind Institute tentang Moderasi itu turut menghadirkan Pembina InMind Institute, Tommy Christomy, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, dan Ketua Departemen Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Abdurakhman. Kajian berbentuk diskusi ini dimoderatori Direktur Kajian dan Pelatihan InMind Institute, Hardianto W Priohutomo.
Christomy yang juga dosen linguistik di UI mengungkapkan bahwa gagasan moderasi masih belum banyak dibahas dan diterapkan di Indonesia walaupun moderasi sebenarnya dapat menjadi gagasan solutif dalam aspek politik, agama, dan budaya.
“Kalau kita lihat di literatur maka istilah moderasi ini muncul karena ada kecenderungan radikalisme atau terorisme. Kalau dalam konteks politik, moderat itu diposisikan tidak kiri maupun tidak kanan. Dalam konteks agama, moderat diposisikan tidak konservatif maupun tidak liberal. Tempat untuk membahas moderasi ini sangat beragam. Ada di level politik, level teologis, level kultural,” kata dia.
Pada kajian ini terungkap bahwa tantangan utama gerakan moderasi adalah adanya para buzzer, penggiring opini di media sosial yang menggunakan hinaan terhadap pihak lain.
“Saat ini demokrasi agak ilusif sehingga dimanfaatkan oleh para buzzer untuk mengkristallkan lawan agar mereka bisa mendemonisasi pihak tertentu agar para buzzer bisa mendapatkan profit,” kata Noor. (RB)