Ibadah.co.id-Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan program dan kegiatan pemeliharaan dan penguatan kerukunan bangsa telah menampakkan sejumlah hasil. Indikatornya antara lain, tercapainya indeks kerukunan nasional di angka 73,83% pada tahun 2019.
“Saya kira hal ini juga berkat kontribusi kampanye kerukunan umat beragama yang dilaksanakan secara mandiri oleh kekuatan masyarakat sipil melalui ormas keagamaan yang turut mengarusutamakan moderasi beragama,” kata Wamenag saat membuka kegiatan penyusunan draf peraturan KUB terkait peningkatan status Peraturan Bersama Menteri (PBM) No9 dan 8 tahun 2006 menjadi Perpres di Bogor, Kamis (25/06).
Namun demikian, lanjut Zainut Tauhid,kerja-kerja kerukunan ini masih menyisakan tantangan. Hal itu dapat dilihat dari adanya kasus dan peristiwa konflik yang melibatkan umat beragama. Antara lain, konflik pendirian rumah ibadah di Bogor, Bekasi, Karimun, Tasikmalaya, dan daerah lainnya yang belum terselesaikan.
Isu lain yang berpengaruh pada kerukunan umat beragama, tambah Wamenag, yaitu terkait paham, aliran, dan gerakan keagamaan yang terjadi di Bandung, dan warga Ahmadiyah di Lombok Timur. Begitu juga terkait penganut aliran kepercayaan yang hingga kini masih perlu difasilitasi hak-hak sipilnya sebagai warga negara tanpa perlu menciderai upaya merawat harmoni kerukunan umat beragama.
“Tentu kita juga tidak dapat mengabaikan terjadinya konflik-konflik sosial yang melibatkan umat beragama, yang pada akhirnya juga menjadi gangguan kerukunan umat beragama,” kata Wamenag.
Tantangan Kerukunan Bangsa di Pusat dan Daerah
Terkait persoalan dan tantangan yang perlu di atasi tersebut, masyarakat berharap pemerintah, pusat dan daerah, mampu mendeteksi akar persoalannya segera teridentifikasi sehingga tidak berkembang menjadi konflik. Dijelaskan Zainut Tauhid ada catatan bahwa akar konflik tersebut kerap muncul dari variabel non agama.
Masyarakat juga berharap pemerintah mampu menyelesaikan konflik agar tidak berlarut-larut dengan langkah-langkah yang diperlukan. “Kita mendengar kritik dari berbagai pihak, misalnya dari kalangan tokoh agama, tokoh masyarakat, peneliti dan akademisi yang menginformasikan bahwa terkait konflik-konflik tersebut pemerintah masih dinilai kurang maksimal kehadirannya,” tandas Wamenag.
“Dari sisi regulasi, dasar hukum yang menopang kelangsungan program dan kegiatan juga masih terbatas peraturan setingkat menteri,” sambungnya.
Alasan regulasi ini cukup berkontribusi pada lambatnya laju program dan koordinasi yang dilakukan baik intern maupun antar instansi terkait, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga penggiat kerukunan lainnya.
Wamenag pun menegaskan kegiatan ini sangat penting dan strategis untuk merumuskan sebuah pemikian yang dapat dijadikan alasan untuk memperkuat peningkatan status atau penguatan PBM menjadi Peraturan Presiden.
Banyak masukan dan saran terkait peningkatan program dan kegiatan beragama seiring dengan pasang-surut usaha pemeliharaan kerukunan.
“Kegiatan ini kiranya menjadi strategis untuk melahirkan suatu pemikiran atau ide yang dapat dijadikan alasan kuat untuk peningkatan status PBM menjadi Perpres,” kata Wamenag.
Pembahasan peningkatan status PBM yang dibuka oleh Wamenag Zainut Tauhid ini melibatkan narasumber dari Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Dalam Negeri, Kemenko PMK, dan Kemenko Polhukam dan berlangsung selama dua hari 25-26 Juni 2020. (RB)