Ibadah.co.id –Pada Kamis (20/04) akan terjadi peristiwa gerhana Matahari yang bisa disaksikan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Gerhana Matahari terjadi ketika Matahari, Bulan, dan Bumi berada dalam satu garis. Hal ini mengakibatkan Piringan Bulan akan menutupi piringan Matahari sehingga terjadilah gerhana.
Oleh Karena itu umat muslim disunahkan untuk melaksana shalat gerhana yang Hukum dan Waktu Shalat Gerhana Matahari Para ulama sepakat bahwa hukum melaksanakan shalat sunnah gerhana matahari adalah sunnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan, bepergian (musafir) dan orang yang diam di rumah (muqim), sesuai dengan dua dalil di atas. Intinya, semua umat Islam yang sudah mempunyai kewajiban (khitab) untuk melakukan shalat lima waktu, maka sunnah baginya ikut serta dalam melaksanakan shalat gerhana. Bahkan, kesunnahan ini merupakan sunnah yang sangat dianjurkan (mu’akkad). Dan, makruh hukum meninggalkannya.
Sedangkan waktu pelaksanaan shalat gerhana matahari sebagaimana yang dijelaskan oleh Habib Zain bin Ibrahim bin Smith ialah mulai dari awal perubahan matahari sampai sinarnya terang kembali, atau sampai terbenamnya matahari meskipun masih dalam keadaan gerhana. Artinya, jika matahari sudah kembali normal, atau masih gerhana namun sudah terbenam, maka waktu disunnahkannya shalat gerhana sudah tidak ada (Habib Zain bin Smith, Taqriratus Sadidah fil Masailil Mufidah, [Darul Mirats an-Nabawi], 2003, h. 347).
Teknis Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana matahari dilakukan tanpa didahului dengan adzan atau iqamah. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafadz “ashshalâtu jâmi‘ah.”
Dalam kitab Syarah Yaqutun Nafis disebutkan bahwa shalat gerhana bisa dilakukan dengan salah satu dari tiga cara, yaitu:
- Shalat dua rakaat seperti shalat sunnah tahiyatul masjid, dengan memperpendek bacaan-bacaannya. Cara ini merupakan cara paling gampang dan ringan.
- Shalat dua rakaat dengan dua kali berdiri dan dua kali ruku’ dalam setiap rakaat, tanpa memperpanjang bacaan-bacaannya.
- Shalat dua rakaat dengan dua kali berdiri dan dua kali ruku’ dalam setiap rakaatnya, serta memperpanjang bacaan-bacaan di dalam shalat. Cara inilah yang paling utama.
Teknis pelaksanaan shalat gerhana matahari dengan cara yang pertama adalah sebagaimana shalat biasanya yang terdiri dari dua rakaat, yaitu dimulai dengan niat. Adapun lafal niatnya, yaitu:
أُصَلِّيْ سُنَّةً لِكُسُوْفِ الشَّمْسِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Setelah itu takbiratul ihram, membaca doa iftitah, membaca ta’awudz, dan surat al-Fatihah, dilanjut dengan mambaca surat-surat pendek, ruku’, i’tidal, sujud, duduk, lalu sujud lagi. Selanjutnya berdiri lagi untuk melanjutkan rakaat kedua sebagaimana rakaat pertama, kemudian disambung tahiyat, membaca dua kalimat sahadat, membaca shalawat ibrahimiyah, dan diakhiri dengan salam.
Adapun teknis pelaksanaan shalat gerhana dengan cara yang kedua yaitu melaksanakan shalat dengan cara dua rakaat dengan dua kali berdiri dan dua kali ruku’. Begini penjelasannya, setelah melaksanakan ruku’ (sebagaimana teknis awal), ia melakukan i’tidal dan kembali pada posisi tegak (berdiri) serta kedua tangan ditaruh kembali di bawah dada dan di atas pusar untuk berdiri yang kedua kalinya.
Setelah itu, ia kembali membaca surat Al-Fatihah kedua kalinya serta membaca surat pendek sebagaimana bacaannya yang pertama. Dilanjut dengan ruku’ dan i’tidal lagi, kemudian sujud dua kali dengan thuma’ninah (tenang, diam sejenak) di setiap sujudnya. Setelah tahapan ini selesai, ia kembali berdiri untuk mengerjakan rakaat yang kedua, sesuai dengan cara yang telah dijelaskan.
Begitupun dengan teknis yang ketiga, sebenarnya cara yang ini sama dengan cara yang kedua, hanya saja yang membedakan adalah bacaan-bacaannya dalam pelaksanaan shalat, yaitu:
- Setelah membaca surat al-Fatihah pada rakaat yang pertama, ia membaca surat al-Baqarah. Namun, jika tidak memungkinkan dibaca secara keseluruhan, maka cukup membaca separuhnya.
- Ketika melaksanakan ruku’ yang pertama, membaca tasbih yang banyaknya kira-kira sesuai dengan membaca seratus ayat Al-Qur’an.
- Ketika berdiri untuk kedua kalinya (setelah melakukan ruku’) dan membaca al-Fatihah maka membaca surat Ali Imran.
- Ketika melaksanakan ruku’ yang kedua, membaca tasbih yang banyaknya kira-kira sesuai dengan membaca delapan puluh ayat Al-Qur’an.
- Ketika berdiri untuk ketiga kalinya, setelah membaca surat al-Fatihah ia membaca surat An-Nisa’.
- Ketika melaksanakan ruku’ yang ketiga, membaca tasbih yang banyaknya kira-kira sesuai dengan membaca tujuh puluh ayat Al-Qur’an.
- Ketika berdiri untuk terakhir kalinya (yang keempat), setelah membaca surat al-Fatihah membaca surat al-Maidah.
- Dan ketika melaksanakan ruku’ yang terahir (keempat), membaca tasbih yang banyaknya kira-kira sesuai dengan membaca lima puluh ayat Al-Qur’an.
- Ketika sujud yang pertama ia membaca tasbih yang banyaknya kira-kira sesuai dengan membaca seratus ayat Al-Qur’an, sujud kedua delapan puluh ayat, sujud ketiga tujuh puluh, dan sujud keempat lima puluh ukuran ayat Al-Qur’an. (Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syatiri, Syarah Yaqutun Nafis, [Darul Hawi, 1997], h. 271-272).
Sumber: NU Online