Take a fresh look at your lifestyle.

Approach Pembiayaan Syariah yang Tertunda Semasa Covid-19 dan Treatment Khusus Penyelesaiannya Pasca Pandemi, Siapkah Pengadilan Agama Menghadapi Lonjakan Sengketa Syariah Tersebut?

0 64

Ibadah.co.id – Di Awal tahun 2020 ini, dunia mengalami bencana pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9). Penyebaran COVID-19 membawa risiko bagi kesehatan masyarakat dan bahkan telah merenggut korban puluhan ribu jiwa yang terinfeksi di berbagai belahan penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia.

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) juga secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya l,5% (satu koma lima persen) saja atau bahkan lebih rendah dari itu.

Perkembangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan hanya dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas perekonomian.

Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berisiko pada ketidakstabilan makroekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah.

Penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extraordinary) di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak dan darurat tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak.

Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.

Presiden Jokowi, telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Selanjutnya disebut sebagai “Perppu 1 / 2020”) yang diluncurkan pada tanggal 31 Maret 2020.

Dalam pernyataan resminya, Presiden Jokowi memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp 405,1 Triliun. Total anggaran tersebut akan di alokasikan Rp 75 Triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, dan Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat. Kemudian, Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya terutama usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah.

Dalam menghadapi corona virus disease (COVID-19), berbagai lembaga negara maupun pemerintahan telah mengeluarkan berbagai kebijakan mengenai pandemi global ini, salah satunya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK juga mengeluarkan kebijakan stimulus keuangan untuk memberi ruang bagi Industri Jasa Keuangan dan masyarakat yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung akibat COVID-19.

Stimulus ini tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 11 /POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (POJK Stimulus Dampak COVID-19).

Peraturan OJK ini berlaku bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, Bank Perkreditan Rakyat, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank-bank ini dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak penyebaran COVID-19 termasuk debitur UMKM, dalam kebijakan penetapan kualitas aset dan restrukturisasi kredit atau pembiayaan.

Debitur yang terkena dampak penyebaran COVID-19 termasuk debitur UMKM adalah debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada Bank karena debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran COVID-19 baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Beberapa Bank seperti Bank BRI dan Mandiri sudah memberikan Relaksasi Kredit UMKM terdampak Corona, relaksasi Nasabah diberikan sesuai dengan POJK. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) telah menyiapkan empat skema relaksasi untuk UMKM yang terdampak Pandemi Covid-19. Namun, masih terdapat banyak fakta di lapangan di mana beberapa Bank masih belum sepenuhnya menjalankan komitmen restrukturisasi kredit untuk membantu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya peserta program KPR. Yang terlihat adalah Bank tersebut seolah-olah memprioritaskan marjin keuntungannya sendiri daripada membantu kelangsungan hidup UMKM dan ekonomi rakyat. Seharusnya, Bank tidak melulu mengejar Marjin, justru yang menjadi hal utama yang harus dilakukan bank adalah menjaga kelangsungan hidup usaha nasabahnya.

Dengan melihat situasi saat ini di mana Hakim Pengadilan Agama yang masih sering tertinggal dengan perkembangan mutahir dari hubungan hukum dan bentuk-bentuk transaksi yang berkaitan dengan syariah, seperti gadai pasar modal dan lainnya, sehingga menyulitkan masyarakat dan praktisi dalam beracara di Peradilan yang sering terjadi pada Peradilan tingkat pertama.

Kondisi tersebut di atas yang menjadi perhatian Indonesia Halal Watch dan H. Ikhsan Abdullah & Partners untuk menyelenggarakan Focus Group Discussion dengan tema “Approach Pembiayaan Syariah yang Tertunda Semasa Covid-19 dan Treatment Khusus Penyelesaiannya Pasca Pandemi. Siapkah Pengadilan Agama Menghadapi Lonjakan Sengketa Syariah Tersebut?”. Guna menemukan solusi yang tepat berbagai masalah yang diprediksi akan muncul pada pasca Pandemi. (ed.AS/ibadah.co.id/rilis)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy