Bedah Buku; NKRI Dalam Timbangan Syariat Islam
Ibadah.co.id – Yayasan Wathaniyyah Wa Insaniyyah Pimpinan KH. Iskandar Zulkarnain di Kalibaru Banyuwangi menyelenggarakan Halal Bihalal dan Bedah kitab ; Jumhuriyah Indonesia al Muwahhadah fi mizan as-Syari’ah karya KH Afifuddin Muhajir.
Ada beberapa point penting yang kami tulis dalam pemaparan KH. Afifuddin saat bedah Kitab diantaranya:
KH. Afifuddin menyampaikan bahwa sering di dengar, NKRI itu harga mati, NKRI sudah final, apanya yang harga mati dan sudah final?. NKRI harga mati dan sudah final artinya NKRI sebagai bungkus dan sistem. Untuk isinya belum final, harus di isi dengan perjuangan yang tidak baik menjadi baik dan yang baik harus lebih baik.
Dalam buku itu ada kata Syariat. Syariat itu ada dua, dalam arti luas dan sempit. Syariat dalam pengertian luas itu sama dengan al-ddin atau Agama yakni dinul Islam. Ada Aqidah, Akhlak – Tasawwuf dan Ahkamu Al amaliyah.
Syariat dalam pengertian sempit adalah Ahkamu al amaliyah, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar sesama manusia. Sebagai turunan dari syariat pengertian sempit adalah Fiqh yang merupakan bagian dari syariat.
Indonesia ini negara Demokrasi dengan dasar Pancasila. Demokrasi itu kedaulatan di tangan rakyat. Bukan menentukan halal – haram. Karena halal haram itu ditentukan oleh Allah SWT, bukan dari hasil voting.
Pancasila ini menyangkut hal hal keduniaan, politik dan tatanan masyarakat. Sedang halal – haram itu otoritas Allah.
Dan unsur unsur demokrasi itu terdapat inti syariat Islam, diantaranya; Al Syuro (musyawarah), Al Musawa (kesetaraan diantara umat manusia), Al Adalah (keadilan), dan Raqabatul ummah (pemimpin dikontrol oleh rakyat), dikritik oleh rakyat. Dan dalam kondisi tertentu dapat di ma’zulkan.
Sebenarnya kepemimpinan yang paling demokratis adalah kepemimpinan Khalafuur Rasyidin. Untuk mengetahui dapat dilihat isi Pidato Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar saat dipilih dan diangkat menjadi Khalifah.
KH. Afifuddin juga menuturkan bahwa Antara Piagam Jakarta dan Pancasila masih lebih baik Pancasila. Karena Pancasila dapat menyatukan daerah daerah masyarakat yang plural di wilayah kesatuan Indonesia.
Pancasila diterima sebagai ideologi Negara alasannya pertama tidak bertentangan dengan syariat bahkan Pancasila itu syariat. Kedua Realistis atau waqi’iyyah, tidak menutup mata dari realita yang ada. Al Waqi’ (realita) dan Al mutawaqqa’ (yang di idealkan), maka realitas yang diambil.
Islam itu ideal, seperti syarat pemimpin dan hakim yang ada dalam kitab Fiqh yang harus Alim dan mampu menggali hukum dari Al Qur’an dan Assunnah. Ketika tidak ada pemimpin dan hakim yang ideal, tentu bukan berarti tak perlu pemimpin dan hakim . Pemimpin dan hakim tetap harus ada walaupun tidak memenuhi syarat ideal.
Indonesia ini negara dimana umat Islam dapat mengamalkan ajaran syariat. Mungkin yang dianggap kurang terkait tathbiqu Al syari’ah atau formalisasi syariat. Para pengusung khilafah memaknai tathbiqu Al syari’ah dengan sangat sempit, hanya menyangkut hudud, qishash, atau hukuman hukuman.
Dari zaman Rasulullah tidak banyak warga yang kena hukuman potongan tangan dan rajam, karena alat buktinya sangat sulit. Seperti perzinahan, alat buktinya pengakuan dari yang bersangkutan atau kesaksian empat orang yang berkualitas. Ada pertanyaan bagaimana kalau pakai CCTV. Tidak bisa CCTV menggantikan empat saksi, karena visi Islam itu tidak untuk mengungkapkan aibnya orang, bahkan sebaliknya untuk menutup aibnya orang.
Orang yang mencuri pun harus di saksikan oleh dua orang yang berintegritas. Orang yang mencuri apakah harus di potong tangan? Itu masih ditanya kenapa dia mencuri?, berapa besar?, dalam kondisi apa dia mencuri?, milik siapa yang dicuri ?
Hukuman dalam Islam teoritis, uqubah nadhariyyah, sehingga banyak tidak terlaksana.
Penulis
HM. Misbahus Salam.