Imam Besar Masjid New York Tanggapi Perubahan Fungsi Hagia Sophia
Ibadah.co.id – Imam Besar Masjid New York, Shamsi Ali menanggapi perubahan fungsi Hagia Sophia menjad masjid. Menurutnya perlu sikap yang bijak dalam menanggapi hal ini. Kemudian ia menyebutkan beberapa argumentasinya dalam menyikapi hal ini. Ia mencoba mencari di dalam rujukan-rujukan otoritatif Islam.
Seperti dilansir republika.co.id pada 15/07/2020, Imam Besar Masjid New York, Shamsi Ali, berharap semua pihak dapat menyikapi perubahan status Hagia Sofia menjadi masjid dengan bijak.
“Hari-hari ini banyak di antara umat Islam begitu senang dan bahagia karena Hagia Sophia, sebuah gedung yang bersejarah dan telah bergonta ganti status, kembali mengalami perubahan status (konversi) baru di tahun 2020 ini,” ujar dia dalam rilis kepada Republika.co,id, Rabu (15/6).
Hagia Sophia adalah bekas sebuah gereja terbesar (Katedral) untuk Umat Kristen Bizantium dari tahun 537-1055. Lalu dari 1054 hingga 1204 diubah menjadi gereja Ortodoks Yunani. Pada tahun 1204-1261 gereja ini diambil alih Katolik Roma. Dari dari 1261 hingga 1453 gereja ini kembali menjadi Katedral Kristen Ortodoks Yunani.
Pada 1453 kota Konstantinopel jatuh ke tangan Ottoman Empira (Khilafah Utsmaniyah) di bawah komando Al-Fatih Sultan Mehmed II. Sejak itu gedung gereja ini diubah menjadi masjid yang lebih dikenal dengan nama Hagia Sophia aau Aaya Sophia mosque.
Belakangan dengan jatuhnya Ottoman Empira atau Khilafah Utsmaniyah menjadikan Turki terjatuh ke dalam kekuasaan Kemal Ataturk yang sekuler. Maka di bawah pemerintahannya masjid Aaya Sophia kembali mengalami perubahan status dari sebuah masjid megah menjadi museum hingga Juli 2020 ini.
“Di tahun-tahun terakhir inilah Turki kembali dipimpin politisi-politisi yang sadar agama, termasuk Erdogan yang dianggap oleh sebagian Muslim sebagai simbol kepahlawanan Umat terhadap berbagai ketidak adilan dunia,” jelas dia.
Di bawah pemerintahan Erdogan kini gedung bersejarah ini akan kembali mengalami perubahan status. Konon kabarnya Pemerintahan Erdogan melalui proses di pengadilan memenangkan untuk mengubah Hagia Sophia dari sebuah museum menjadi masjid kembali seperti di zaman keemansan Khilafah Utsmaniyah.
Rencana itu tentunya mengundang ragam reaksi dunia. Umat Islam pastinya seperti yang diperkirakan (expectable) umumnya senang, bahagia dan memuji keputusan pemerintahan Erdogan itu. Sampai-sampai ada yang menyandingkan Erdogan dengan Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel.
Sebagai seorang Muslim yang punya emosi dan sentimen, termasuk emosi sejarah, tentu dirinya ikut senang dan bahagia melihat Hagia Sophia kembali menjadi sebuah masjid. Apalagi jika perubahan museum ke masjid itu dikait-kaitkan dengan ikatan emosi kemenangan Al-Fatih melawan tentara Byzantium yang hebat saat itu.
Konversi itu seolah menyimbolkan kemenangan Turki dan Islam saat ini dalam menaklukkan kekuatan sekularisme dunia, minimal di Turki. Bahwa dengan menjadinya Hagia Sophia sebagai masjid seolah Islam berjaya mengalahkan kekuatan sekularisme.
Namun di sisi lain konversi ini juga menimbulkan reaksi negatif dari banyak kalangan. Ada yang menganggap bahwa keputusan ini melanggar etika hubungan anta manusia, khususnya antarpemeluk agama. Bahkan ada yang menganggap jika konversi ini seolah perampasan hak beragama orang lain.
Selain suara negatif dari UNESCO, Ppmpinan Katolik dunia (Paus Fransiskus) juga menyampaikan pernyataan sikap “menyayangkan” dengan kata “merasa sakit” (pained) dengan konversi gedung tersebut dari sebuah museum menjadi sebuah masjid.
Dunia Barat, dan banyak tokoh-tokoh agama dunia menyuarakan bahwa konversi ini kembali bisa merenggangkan hubungan antarpemeluk agama dunia.
Terlepas dari gonjang-ganjing dukungan atau resistensi itu, saya pribadi kemudian mencoba merenungkan kembali tentang konversi ini.
“Perenungan saya lebih banyak didorong oleh kenyataan bahwa umat saat ini sedang terlibat dalam kompetisi yang sengit dalam membangun imej dan persepsi.”
Selain isu persepsi, tentu sebagai Muslim sebuah isu itu sangat mendasar untuk dilihat dari perspektif agama atau syariah itu sendiri. Bagaimana sesungguhnya status rumah-rumah ibadah dalam konteks peperangan? Dapatkah rumah-rumah ibadah dijadikan sebagai bagian dari harta rampasan perang?
“Saya ingin memulai dengan melihat kembali posisi syariah dalam menyikapi rumah-rumah ibadah, khususnya dalam konteks harta rampasan atau ghanimah. Hal ini karena sebagian mengambil kesimpulan bahwa gedung Hagia Sophia ini merupakan bagian dari harta rampasan (ghanimah) pemenang perang Byzantium ketika itu yang dikomandoi oleh Al-Fatih Sultan Mehmed II,”ujar dia.
Imam Shamsi mencoba mencari dalam beberapa rujukan buku-buku fiqih tentang status rumah-rumah ibadah dalam peperangan, apakah masuk dalam kategori obyek yang menjadi bagian dari harta rampasan pemenang perang? Atau rumah-rumah ibadah justru memiliki status yang berbeda?
Dari penelusuran itu dia hampir tidak menemukan jawaban yang pasti. Maka kemudian kembali kepada rujukan utama kita, yaitu Alquran, sunnah, maupun sirah Rasulullah maupun khulafa Ar-Rasyidin. Dari penelusuran singkat dan sederhana itu, dia menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama, ayat ayat Alquran mengingatkan bahwa dalam peperangan rumah-rumah ibadah dilarang untuk dirusak (lihat Al-Hajj: 40). Hal ini tentunya untuk menjaga hak agama lain. Kalau disentuh/dirusak saja dilarang, bagaimana dengan merampasnya (dijadikan harta rampasan)?
Kedua, bahwa Rasulullah SAW dalam peperangan secara khusus melarang mengganggu/menyakiti mereka yang beribadah. Maka pastinya larangan gangguan di sini termasuk larangan mengambil alih rumah ibadah mereka.
Ketiga, sejarah membuktikan bahwa bahwa para sahabat yang melakukan penaklukan, baik di Timur maupun di Barat, justru tidak mengambil alih rumah-rumah ibadah orang lain ketika menaklukkan negeri tertentu.
Contoh-contoh itu dapat ditemukan dalam sejarah Islam. Lihat misalnya sejarah penalukkan negeri Syam di bawah pemerintahan Umar Ibnu Khattab.
Keempat, juga karena agama ini meyakini apa yang disebut “religious freedom” (kebebasan beragama) bagi semua pemeluk agama. Dan pastinya kebebasan beragama juga mengikat jaminan bagi mereka untuk memiliki rumah-rumah ibadah.
Dan karenanya ketika sebuah negeri ditaklukkan pasukan Islam, penduduk negeri itu tidak dipaksa memeluk Islam berdasarkan “laa ikraaha fid diin” (tiada paksaan dalam agama).
Dan karena mereka tetap dalam agama mereka maka logikanya rumah ibadah mereka juga tetap dijamin eksistensinya.
Itulah beberapa pertimbangan syar’i dalam menyikapi status rumah-rumah ibadah dalam peperangan, termasuk dalam pembahasan harta rampasan. (RB)