Islam Wasathiyah: Menurut Tinjauan Dalil Hadis
Ibadah.co.id – Moderasi Islam atau yang kita kenal dengan istilah Islam moderat (wasathiyah) bukanlah suatu ajaran Islam yang memudah-mudahkan. Baik itu, untuk dipahami maupun dalam praktiknya sekali pun. Oleh karena itu, menurut Yusuf al-Qardhawi bahwa metode wasathiyah adalah metode yang digali dari al-Quran.
Di mana dalam metode tersebut yang dikenal dalam ilmu prinsip-prinsip hukum Islam (ushul al-Fiqh) yang mengedepankan rukhsah (keringan) dalam perkara furu’ (cabang) dan tegas dalam hal akidah. Begitupun, moderat (wasath) tidak bisa diartikan sebagai sikap reduksionis. Karena Wasath dalam agama yaitu berpegang teguh pada sunnah dan kehidupan Nabi Muhammad (sirah nabawi).
Hal ini yang kemudian berbeda dengan al-Qur’an yang menyebutkan kata wasath secara gambling. Dalam literatur hadis, kata wasath hampir tidak ditemukan. Hanya saja, kata yang digunakan dalam kepadanan maknanya, yakni al-Qasd (al-Qashd) yang bermakna al-tawassuth dan al-I’tidaal.
Dalam salah satu contoh hadis yang menggunakan kata al-Qashd adalah hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim tentang sahabat Jabir bin Samurah tentang pelaksanaan khutbah Nabi pada hari Jumat:
عن جابر ابن سمورة، قال: كنت اصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم الصلوات فكانت صلاته قصدا وخطبته قصدا
Artinya: “Dari Jabir bin Samurah berkata, aku telah shalat bersama Nabi saw berkali-kali, dan (aku dapati) shalatnya dalam pertengahan, khutbahnya juga pertengahan”.
Dari beberapa prinsip dasar dan karakteristik wasathiyah yang diintisarikan dalam hadis, dikutip dari tulisan Ardiansyah, Islam Wasathiyah Perspektif Hadis adalah terdapat beberapa prinsip.
Pertama, al-khayriyah yang memiliki arti terbaik atau terpilih (Ali Imran [3]: 110). Umat Islam merupakan umat terbaik dan terpilih yang disebutkan dalam kitab suci al-Quran. Dalam kedua sifat tersebut, umat Islam seyogiyanya membawa nilai-nilai kedamaian dan kelembutan.
Kedua, al-‘adalah yakni adil. Dalam wasath (al-Qasd) nilai keadilan merupakan yang penting. Keadilan mencakup segalanya baik dalam hal yang bersifat ketahuidan ataupun kehidupan bermasyarakat.
Ketiga at-tawazun, yang berarti keseimbangan, karakter ketiga ini menjadi pengikatnya. Islam menjadi agama yang sempurna karena Islam mampu menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat. Seseorang yg seimbang dalam kehidupannya akan seimbang pula dalam kehidupan sosialnya.
Keempat, at-tasamuh (toleran). Dalam karakter dan prinsip ini merupakan pembuka dari wasath. Seseorang yang menjalankan sikap tasamuh akan tawazun, kemudian sikapnya akan adil. Lalu, dari situlah menjadi (umat) yang terpilih dan terbaik.
Kelima, al-Istiqamah (konsistensi), selain empat karakter dan prinsip wasath di atas, seseorang hendaknya memegang prinsip berada dalam “jalan yang lurus”.
Keenam, ra’f al-haraj (menghilangkan kesulitan). Prinsip ini sesuai dengan sabda Nabi; “Berikanlah kemudahan jangan mempersulit, berikanlah ketenangan jangan membuat gaduh”. Dari sini jelas, bahwa Rasulullah adalah sosok pemimpin yang bersikap sederhana yang tidak mempersulit umatnya dengan mnberikan solusi yang tidak memberatkan.
Dari keenam prinsip dan karakter tersebut, wasath dalam hadis memiliki kesinambungan dengan sikap-sikap baik lainnya. Dengan mengedepankan toleransi dan keseimbangan. Semoga umat Islam senantiasa memberikan kedamaian bagi sekitarnya. (Ed.HN/ibadah.co.id)