Khutbah Idul Fitri 2023: Menjaga Semangat Ibadah Pasca-Ramadan
Ibadah.co.id – Alhamdulillah, syukur yang tiada terkira kita panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wata’ala. Sebab atas ridha dan rahmat-Nya kita bisa berkumpul di tempat ini untuk menunaikan rangkaian ibadah shalat Idul Fitri sembari kita mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil sebagai pengakuan kita akan kebesaran-Nya.
Walaupun ada saudara-saudara kita sesama umat muslim yang sudah merayakan Idul Fitri kemarin itu sebagai bukti toleransi kita Bersama dalam menyikapi penetapan tanggal 1 bulan syawal.
Jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah,
Idul Fitri sering dimaknai sebagai hari raya sekaligus pertanda berakhirnya ibadah puasa Ramadan. Dalam budaya Nusantara ini, lebih masyhur dengan istilah “lebaran” artinya adalah selesai atau ‘sudah berlalunya Ramadan’.
Dalam kamus Al-Ma’any Idul Fitri dimaknai sebagai:
اَليَوْمُ اْلأوَّلُ الَّذِي يَبْدَأُ بِهِ الإفْطَارُ لِلصَّائِمِيْنَ
“Hari pertama bagi orang-orang yang berpuasa Ramadan mulai kembali berbuka dengan makan dan minum seperti di hari-hari biasa.”
Selain itu ada juga yang memaknai Idul Fitri dengan al-‘Aidin Wa Al-Faizin: ‘kembali suci atau terbebas dari dosa’ dan Menang. Makna ini disandarkan pada hadits tentang keutamaan dihapusnya dosa bagi orang yang berpuasa. Sehingga orang dosanya dihapus karena ia berpuasa di bulan ramadan itu disebut sebagai pemenang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Namun yang perlu kita pertanyakan pada diri kita masih-masing adalah; apakah kita tergolong sebagai orang-orang yang menang yaitu orang yang Kembali Suci dan terbebas dari Dosa. Apakah romadhon menjadikan kita semakin bertaqwa kepada Allah SWT. Apakah romadon menajdikan kita semakin taat kepada Allah SWT. Apakah romadon menjadikan kita mampu untuk mengendalikan hawa nafsu kita. Sehingga kita memiliki rasa takut terhadap segala bentuk larangan dari Allah SWT. Ini yang perlu kita resapi bersama di hari yang fitri ini.
Di dalam kitab Lathaifu al-Ma’arif halaman 277, Ibnu Rojab pernah berkata:
يقول ابن رجب: ليس العيد لمن لبس الجديد، إنما العيد لمن طاعاته تزيد، ليس العيد لمن تجمل باللباس والركوب، إنما العيد لمن غفرت له الذنوب،
Ibnu Rajab Berkata: “Hari ‘Ied itu bukan bagi yang berpakaian baru, Akan tetapi Hari ‘ ied adalah yang Ketaatannya bertambah, Bukanlah Hari ‘Ied bagi yang berhias dengan Pakaian dan kendaraan bagus, Tapi Hari ‘ Ied adalah yang telah dihapus dosa dan kesalahannya”.
Ada kisah menarik khusus di hari yang fitri ini: Suatu ketika, ada seseorang laki-laki yang datang kepada Amirul Mu’minin sayidina Ali bin Abi Tholib karromallahu Wajhahu di hari raya Idul Fitri. Dan orang tersebut melihat Ali bin Abi Thalib sedang makan roti tanpa lauk pauk. Maka lelaki tersebut bertanya kepada Ali bin Abi Thalib:
يا أمير المؤمنين, هذا اليوم يوم العيد وانت تأكل هذا الخبز؟
Wahai Amirul mu’minin, hari ini adalah hari raya, dan engkau hanya makan roti seperti ini? Maka beliau menjelaskan:
لنا عيد هذا اليوم
Hari ini adalah hari raya
وغدا لنا عيد
Dan esok bagi kita juga hari raya
وكل يوم لا نعص الله فهو عيد
Dan setiap hari di mana kita tidak bermaksiat kepada Allah, itu juga merupakan hari raya.
Beliau menjelaskan kepada kita semua makna hari raya. Di mana hari raya adalah seseorang yang dalam setiap hari, taatnya semakin meningkat. Taqwanya semakin hebat. Hawa nafsunya selalu terjaga dan terawat. Serta tidak melakukan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah SWT.
Kita baru saja keluar dari satu madrasah yang Bernama Romadon. Di romadon setiap mau puasa kita diperintahkan untuk niat di malam hari. Di situ kita diajarkan untuk setiap melakukan perbuatan apa saja untuk ikhlas karna Allah SWT. Romadon juga mendidik untuk semakin taqwa. Karna tujuan puasa itu adalah untuk bertaqwa (lallakum tattaqun). Serangkaian kita beribadah di Bulan Ramadan itu semua tujuanya adalah menjadi orang yang Bertaqwa.
Sesuai Surat al-Baqoroh, ayat 183.
Taqwa itu asal katanya wiqayatun: waspada dan hati-hati.
Taqwa Menurut Imam Ali: adalah mempunyai empat sifat utama, pertama Al-Khaufu min Al-Jalil, merasa takut kepada Allah SWT yang mempunyai sifat Maha Agung. Kedua Al-Amalu bi At-Tanzil, beramal dengan apa yang diwahyukan oleh Allah SWT. Ketiga Wal-Qona’atu bi Al-Qalil, merasa cukup dan ridho dengan pemberian Allah swt, meskipun hanya sedikit. Dan keempat Al-Isti`dadu li Yaumi Ar-Rahil, yaitu sentiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah swt.
Sementara, Abu Hurairah pernah ditanya oleh seseorang tentang makna takwa. Lalu, Abu Hurairah bertanya balik, “Apakah engkau pernah melewati jalan yang penuh onak dan duri?” Orang tersebut menjawab, “Ya, pernah”.
Abu Hurairah bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?”. Orang tersebut menjawab, “Jika melihat duri aku akan menghindar atau aku berhati-hati darinya.” Lalu, Abu Hurairah menjelaskan, “Itulah makna takwa”.
Jadi taqwa itu adalah, kita hati-hati dan waspada kepada Allah. Seluruh anggota tubuh kita itu harus diberdayakan untuk beribadah serta bertaqwa kepada Allah SWT.
Jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah
Bukankah tanpa kita sadari, bahwa Ramadan yang telah berlalu mengantarkan sekaligus mengajarkan kita untuk kembali mengenal Allah melalui beragam ibadah; kenal kembali kepada Allah melalui puasa, qiyamullail, shalat berjamaah, membaca al-Qur’an, sedekah, memberi buka puasa dan lain-lain, yang kesemuanya terkadang sangat sulit kita kerjakan dikerjakan di waktu lain.
Jika Ramadan telah mengajarkan kita untuk mengenal Allah, maka Idul Fitri ibarat puncak tujuan bahwa kita betul-betul diharapkan sudah kembali mengenal Allah.
Setelah kita mengenal Allah, tugas terbesar saat ini adalah bagaimana cara merawatnya. Jangan sampai kita mengenal Allah hanya saat Ramadan saja, selesai Ramadan Kembali seperti dulu, wal iyadzu billah, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang ulama saleh terdahulu yaitu Syeikh Bisyr Al-Hafi di dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, h. 390.
بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِنَّ الصَّالِحَ الَّذِي يَتَعَبَّدُ وَ يَجْتَهِدُ السَّنَةَ كُلَّهَا
“Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah di bulan Ramadan saja. Ingat, orang yang saleh yang sejati adalah yang beribadah dengan sungguh-sungguh sepanjang tahun”
Jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah
Pertanyaanya, bagaimana agar kita tetap istiqamah mengenal Allah pasca Ramadan? Ini yang penting dan harus kita perhatikan.
Pertama, berdoa agar hati kita tetap istiqamah dan tidak mudah berubah, awali dengan niat dan doa. Di antara doanya:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)” (HR at-Tirmidzi).
Kedua, berkumpul dengan orang-orang yang saleh yang mengantarkan pada kebaikan.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.” (QS al-Kahfi: 28).
Ayat ini menyimpan makna agar kita senantiasa bersama orang-orang yang saleh. Sebab membersamai mereka bukan hanya bisa menenangkan hati namun juga mendorong diri untuk selalu berbuat baik.
Ketiga, berusaha dan bersungguh-sungguh beribadah terus-menerus, walaupun hanya sedikit, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Artinya, “Amalan yang paling dicintai di sisi Allah ta’ala adalah amalan yang dilakukan secara terus-menrus (dawam) walau jumlahnya sedikit.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Barangkali menjaga terus amalan kita sebagaimana saat di bulan Ramadan, seperti shalat malam, berjamaah di masjid, dan baca al-Qur’an, adalah perkara yang sulit. Namun teruslah berusaha secara maksimal, walaupun nanti intensitasnya berkurang yang penting bisa rutin dan tetap dijaga.
Yang rutin sholat jamaah, lanjutkan. Baca quran, sholat malam, sedekah, membantu orang. Teruskan. Jangan hanya Ramadan saja. Awas! Jangan terbalik, Sholat tarawih rame, Alhamdulillah. Tapi sholat wajib 5 waktu sepi. Ini terbalik. Harusnya yang wajib didahulukan adalah fardhu, jangan sunah yang di depan.
Atau sholat sunah hari raya Idul Fitri ini ramai, Alhamdulllah. Tapi perlu kita ketahui ini hukumnya sunnah, sunnah muakkad. Sholat yang 5 waktu itu isya, subuh, dzuhur, ashar dan magrib itu wajib. Harusnya itu yang perlu diramaikan.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنْ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَمَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنْ الْفَرْضِ فَهُوَ مَغْرُورٌ
“Siapa yang tersibukkan dengan yang wajib dari yang sunnah dialah orang yang patut diberi udzur. Sedangkan siapa yang tersibukkan dengan yang sunnah sehingga melalaikan yang wajib, maka dialah orang yang benar-benar tertipu.” (Fath Al Bari, 11:343)
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ
Sebelum saya akhiri khutbah ini, saya akan mengingatkan kepada seluruh jamaah semua bahwa di Bulan Syawal ini, ada puasa sunnah selama 6 hari.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتَّاً مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Artinya, “Barang siapa berpuasa Ramadan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.” (HR Muslim)
Keutamaanya banyak, di antaranya:
1. Penyempurna puasa Ramadan. Salah satu manfaat ibadah sunnah adalah sebagai penyempurna ibadah fardhu. Sebagaimana shalat sunnah rawatib (qabliyah dan ba’diyah) yang bisa menjadi penyempurna bagi shalat fardhu. Demikian juga puasa sunnah Syawal bisa menjadi penyempurna puasa Ramadan.
2. Pahala puasa satu tahun. Dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 160 dijelaskan bahwa setiap satu amal ibadah akan dibalas pahala sepuluh kali lipatnya. Mengacu pada penjelasan ini, jika dikalkulasikan maka satu bulan puasa Ramadan dikali 10 sama dengan 10 bulan, kemudian 6 hari puasa Syawal dikali 10 sama dengan 2 bulan. Jadi 10 bulan ditambah 2 bulan sama dengan 12 bulan atau satu tahun.
3. Tanda diterimanya puasa Ramadan. Ramadan Salah satu ciri-ciri diterimanya amal ibadah adalah konsistensi melakukan ibadah yang lain setelah ibadah pertama selesai. Begitupun dalam puasa Ramadan. Salah satu ciri-ciri diterimanya puasa Ramadan adalah seseorang melakukan puasa sunnah Syawal setelahnya.
4. Sebagai tanda syukur. Melaksanakan puasa sunnah Syawal merupakan bukti syukur seorang hamba karena selama bulan Ramadan telah memperoleh anugerah dari Allah swt baik berupa ibadah-ibadah yang bisa dijalani di dalamnya ataupun ampunan yang dijanjikan bagi orang yang beribadah selama bulan puasa.
5. Menjaga konsistensi ibadah. Selesainya bulan Ramadan bukan berarti ibadah-ibadah di dalamnya terputus. Umat Muslim dianjurkan untuk tetap menjaga konsistensi ibadah tersebut. Salah satunya adalah dengan berpuasa sunnah Syawal sebagai bukti konsistensi puasa yang sudah dilakukan selama Ramadan.
Jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah,
Bagi yang masih ada salah antar sesama, bagi yang pernah menyakiti orang lain, kawan kita, tetangga kita, ayu kita saling meminta maaf di hari yang fitri ini karena itu merupakan ibadah sosial kita terhadap sesama. Telebih kepada kedua orang tua kita. Perbaikilah cara komunikasi kita dan tetap patuh serta hormat kepada mereka.
Demikianlah khutbah Idul Fitri tahun 1444 H, semoga Allah subahanahu wa ta’ala menerima semua amal ibadah Ramadan kita. Dan kita semua dipertemukan Kembali di bulan ramdahan yang akan datang. Amin ya Robbal Alamin.