“Halal Bi Halal” dari Perspektif Bung Karno, Kiai Wahab Hingga Nasaruddin Umar
Ibadah.co.id-Halal Bihalal menjadi istilah yang selalu muncul pada momentum Hari Raya Idul Fitri. Ternyata, tradisi halal bihalal ini sudah ada di Indonesia sejak dahulu lho. Namun, kemunculan istilah ini memiliki sejarah tersendiri, berikut ulasannya.
Kedekatan Bung Karno dengan K.H. Wahab ini juga yang memunculkan ide halal bihalal pada tahun 1948. Berawal dari keprihatinan akan disintegrasi bangsa yang terjadi pasca-Kemerdekaan.
Kekhawatiran perpecahan bangsa dirasakan karena munculnya beberapa pemberontakan yang merongrong keberadaan RI yang baru saja merdeka. Di antara pemberontakan itu adalah DI/TII di Jawa Barat (19 Desember 1948) dan Pemberontakan PKI di Madiun (18 September 1948). Akibatnya, para elite politik pun terpecah dan sulit bersatu.
KH Wahab Chasbullah, yang dimintai pendapat oleh Bung Karno, kemudian menyarankan acara silaturrahim di antara elit politik dengan memanfaatkan momentum Idul Fitri.
Meski sepakat dengan usulan itu, tapi Bung Karno merasa kurang cocok dengan penggunaan kata silaturahim untuk mendinginkan suhu politik saat itu. Menurutnya, istilah itu terlalu biasa dan harus dicari istilah lain agar pertemuan itu jadi momentum dan mengena bagi para elit politik yang hadir.
Kemudian K.H. Wahab mengusulkan istilah “halal bihalal”. Menurut sang kiai, istilah ini tepat digunakan untuk menyatukan para elite politik yang bermusuhan dan saling menyalahkan. Bermusuhan itu haram hukumnya dalam Islam, sehingga harus dihalalkan. Caranya, para elite harus bertemu dan duduk satu meja untuk saling memaafkan satu sama lain.
Kemudian Bung Karno setuju dengan istilah “halal bihalal”. Maka, pada Idul Fitri 1367 H, diadakanlah halal bihalal di Istana Negara. Bung Karno mengundang semua tokoh politik untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan.
Sejak itulah halal bihalal menjadi hal yang biasa dilakukan dalam momen Idul Fitri, sampai kini. Bahkan kini halal bihalal menjadi perekat persatuan bangsa lebih luas lagi karena lazim mengikutsertakan saudara-saudara sebangsa yang non-Muslim.
Baca Juga : Jalankan Sunnah Nabi, Ini Keutamaan Menikah di Bulan Syawal
Dilansir dalam NU Online, Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta, Profesor Nasaruddin Umar mengatakan, inti halal bihalal ialah silaturahim. Dua istilah halal dengan yang pertama ialah ‘silah’ yang bermakna selalu positif. Lalu kedua, ‘rahim’. Ada sebuah hadits Nabi mengatakan, jika Al-Qur’an 30 juz dipadatkan, maka pemadatannya ialah Surah Al-Fatihah.
“Kemudian jika dipadatkan lagi, maka intinya terletak pada dua kata yang disebut ummu sifat, ummul asma, di mana terdapat 99 nama Allah. Yang menjadi induknya, ialah Ar-Rahman dan Ar-Rahim,” paparnya.
“Kita ingin sekali agar di seluruh Indonesia nanti halal bihalal ini menjadi satu hal yang sangat perekat untuk bangsa Indonesia yang majemuk,” harapnya.
Simbol pemersatu seperti halal bihalal tersebut, menurutnya sangat penting. Jangan hanya dianggap milik umat Islam saja, sekalipun namanya bahasa Arab, namun halal bihalal ini merupakan karya anak bangsa. (EA)
Baca Juga : Gus Miftah Bicara Soal Persatuan Kebangsaan
[…] Baca Juga : “Halal Bi Halal” dari Perspektif Bung Karno, Kiai Wahab Hingga Nasaruddin Umar […]
[…] Baca Juga : “Halal Bi Halal” dari Perspektif Bung Karno, Kiai Wahab Hingga Nasaruddin Umar […]