Mengenal Lebih Dekat Kiai Sholeh Darat Semarang
Ibadah.co.id- Kiai Sholeh Darat memiliki nama lengkap Muhammad Sholeh Umar As-Samarani, beliau merupakan salah satu ulama yang bersal dari tanah Jawa. Lahir di Dukuh Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara tahun 1820 M. Beliau dibesarkan oleh seorang ayah yang juga merupakan salah satu pejuang kemerdekaan sekaligus kepercayaan Pangeran Diponegoro.
Acapkali beliau dipanggil dengan sebutan Darat dibelakang namanya. Ternyata alasan nama Darat selalu tersemat di belakang nama beliau adalah dikarenakan beliau tinggal dekat dengan pantai utara Semarang yang merupakan tempat orang-orang luar Jawa singgah. Nama sebutan beliau akhirnya dijadikan sebuah prasasti nama kampong, Nipah Darat dan Darat Tirto.
Dilansir dari laduni.id (11/08/20), Beliau tumbuh besar dilingkungan yang sangat Islami dan waktunya dihabiskan untuk belajar Al-Qur’an dan ilmu Agama lainnya seperti Ilmu Nahwu, Sharaf, Akidah, Akhlak, Hadits, dan Fiqih. Hingga pada akhirnya beliau memperdalam ilmunya ke beberapa ulama besar di Pulau Jawa maupun Luar Negeri.
Beliau belajar Ilmu Fiqih kepada salah satu ulama yang memiliki Pondok Pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati bernama KH. M. Syahid untuk belajar Ilmu Fiqih. Selanjutnya beliau juga belajar kepada Kiai Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus dan mempelajari ilmu tafsir. Dalam belajar Ilmu Nahwu dan Sharaf beliau belajar kepada Kiai Ishak Damaran, Semarang. Ilmu Falak beliau mengkajinya dengan Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang. Dengan Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim Bulus Gebang Purworejo juga beliau belajar tentang Tasawuf dan Tafsir Al-Qur’an. .
Tentang kehidupan rumah tangga, selama hidup beliau pernah menikah tiga kali. Pernikahan pertama beliau adalah pernikahan yang dilaksanakan ketika beliau masih berada di Makkah. Ketika beliau memutuskan untuk pulang ke Jawa, istri pertamanya ini meninggal dan meninggalkan satu orang anak yang diberi nama Ibrahim. Sayangnya Ibrahim tidak pernah menginjakkan kaki di Jawa. Sebagai kenang-kenangan, beliau juga menuliskan nama Abu Ibrahim sebagai halaman sampul Kitab Faidh al-Rahman.
Kemudian Kiai Sholeh Darat menikah kembali dengan salah satu anak dari Kiai Murtadha yang bernama Sofiyah. Dalam pernikahannya yang kedua beliau nmemiliki dua orang anak bernama Yahya dan Khalil. Ketiga kalinya beliau menikahi anak dari seorang Bupati Bulus, Purworejo yang bernama Aminah yabng masih memiliki keturunan Arab. Dan dikaruniai anak bernama Siti Zahrah.
Kiai Sholeh Darat mengamalkan ilmunya dan mengajar di salah satu pesantren di Purworejo yang bernama Pesantren Salati. Di sini beliau mengajar bidnag penghafalan Al-Qur’an dan juga Kitab Kuning seperti Fiqih, Tafsir, Nahwu, dan Sharaf. Beberapa santri yang yang pernah menimba ilmu di Pesantren Salati antara lain Kiai Baihaqi, Kiai Ma’aif, Kiai MuttaqinKiai Haji Fathullah, dan Kiai Hidayat.
Pada tahun 1970-an Masehi beliau kemudian mendirikan sebuah pesantren di Semarang. Pesantren beliau merupakan pesantern tertua kedua di Semarang setelah Pesantren Dondong Wetan, Semarang. Pesantren Daratpun hilang tanpa ada jejak tahun 1903 dikarenakan Kiai Sholeh Darat kurang memperhatikan kelembagaan pesantren selama mengasuh pesantren tersebut.
Namun konon ada yang berpendapat bahwa pesantren yang didirikan beliau hanyalah sebuah majelis yang tidak ada bangunan secara fisik yang didatangi oleh pera santri kalong untuk menimba Ilmu dengan kajian yang bermutu.
Beberapa tokoh penting merupakan santri beliau, antara lain KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah), Kiai R. Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H), Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat dan beberapa tokoh penting lain di Indonesia.
Sebagai ulama yang ulet dan banyak menimba ilmu Agama, Kiai Sholeh Darat menulis 13 buiah dan sebagian besar adalah terjemahan. kitab yang hampir semuanya ditulis menggunakan Bahasa Jawa dan Huruf Arab Pegon dan sebagian menggunakan Bahasa Arab. Kitab-kitab tersebut antara lain Kitab Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam (ditulis dengan huruf Arab Pegon dan membahasan tentang permasalhan Fiqih), Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali, Al-Hikam karya Ahmad bin Athailah, Lathaif al-Thaharah, Manasik al-Haj, Pasolatan, Sabillu ‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani, Minhaj al-Atkiya’, Al-Mursyid al-Wajiz, Hadits al-Mi’raj, Syarh Maulid al-Burdah, Faidh al-Rahman, dan Asnar al-Shalah.
Kiai Sholeh menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya di Semarang pada Jumat 18 Desember 1903 dalam usia 83 tahun dan dimakamkan di pemakaman umum Bergota, Semarang. (DAF)