Transformasi Pembacaan Wawacan Syekh Abdul Qadir Jaelani di Banten
Ibadah.co.id – Pembacaan Wawacan Syekh Abdul Qadir Jaelani di Banten mengalami transformasi. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ade Fakih Kurniawan, M.Ud. asal Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SHM) Banten.
Seperti dilansir kemenag.go.id pada 23/09/20, perubahan zaman seringkali menggeser tradisi dan budaya. Ritual pembacaan Naskah Wawacan Seh di Banten termasuk salah satu di antara contohnya.
Wawacan Seh merupakan tulisan tangan dengan aksara pegon berbahasa Jawa ala orang Banten tentang riwayat perjalanan spiritual Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ritual ini sering disebut juga pembacaan manakib. Wawacan Seh sering dibaca dengan tradisi macapatan.
Hal itu disampaikan Dr. Ade Fakih Kurniawan, M.Ud. (UIN SMH Banten) pada saat Tadarus Litapdimas ke-21 secara daring oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, pada Selasa (22/09).
“Telah terjadi perubahan praktik ritual tradisi Wawacan Seh oleh mereka yang mempunyai kuasa di masyarakat. Konsekuensinya, berubah pula pada tataran ontologis, sosial, worldview, dan cara pandang keagamaan,” terang Ade memaparkan temuan risetnya. Temuan ini berasal dari disertasi S3 nya yang berjudul “Cultural Negotiation, Authority, and Discursive Tradition: The Wawacan Seh Ritual in Banten”.
“Sekalipun berubah, tetapi tidak mengubah kekhusyu’an ritual baca Wawacan Seh Abdul Qadir,” lanjutnua.
Temuan Ade ini melengkapi kajian teoritik sebelumnya dari Talal Asad, tentang “What Does the Ritual Do?” dan Clifford Geertz tentang “What Does the Ritual Mean?”.
Presentasi hasil kajian Ade yang sudah dipertahankan secara terbuka pada program doktor Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga itu mendapat apresiasi Prof. Dr. Suyitno, selaku Direktur PTKI Kemenag RI saat menjadi pembicara kunci Tadarus Litapdimas ke-21. Suyitno yang juga guru besar UIN Palembang menekankan, salah satu kemanfaatan disertasi di lingkungan PTKI adalah mampu memberi kontribusi nyata pada masyarakat.
“Hasil disertasi atau riset harus memiliki dua fungsi yaitu menjawab persoalan akademik yang ditelitinya dan dapat bermanfaat, memberi solusi bagi masyarakat,” ujar Suyitno.
Apresiasi serupa disampaikan Prof. Dr. Phil. Asep Saefuddin Jahar, M.A. selaku pembahas yang juga direktur pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Kajian Wawacan Seh karya Ade mampu menemukan pemikiran baru dari analisis antropologis yang berbasis teks kuno, manuskrip. Sekurangnya, tidak kalah dengan kajian disertasi para sarjana Eropa/Barat,” jelasnya.
Tadarus Litapdimas seri ke-21 mengusung tema, “Menguak Teks, Tradisi, dan Otoritas Keilmuan.” Tema ini berasal dari klaster bantuan penelitian afirmasi pascasarjana Direktorat PTKI yang menghadirkan 3 pembicara.
Panelis lainnya adalah Zunly Nadia, “Sahabat Perempuan dan Periwayatan Hadits; Kajian atas Subyektifitas Perempuan dalam meriwayatkan Hadits”, dan Awal Muqsith dari UIN Alauddin Makassar berjudul “Konsep Bernegara Masyarakat Bugis dalam Lontara Latoa: Tinjauan Filsafat Politik Islam”. Diskusi selama kurang lebih 2 jam secara online itu dipandu oleh Kasi Penelitian dan Pengelolaan HKI, Dr. Mahrus. Acara ini ditutup Kasubdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Dr. Suwendi. (RB)
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.