Wahid Institue: Ujaran Kebencian Beri Dampak Besar Pada Radikalisme dan Intoleransi
Ibadah.co.id – Akhir-akhir ini, di era sosial media, ujaran kebencian semakin subur. Baik yang berkaitan dengan pribadi maupun keyakinan. Dan diperparah lagi dengan masuknya politik di panggung-panggung agama dan agama ditarik ke kancah perpolitikan. Inilah yang semakin menyuburkan bibit-bibit radikalisme dan intoleransi semakin subur di negeri ini.
“Hasil survei yang dilakukan Wahid Institute menunjukkan trend intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu,” kata Direktur Wahid Institue, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, pada dialog “Kick Andy” yang diselenggarakan di Kampus IBI Kesatuan, Kota Bogor, Sabtu.
Menurut Yenny Wahid, dari hasil kajian yang dilakukan Wahid Institute ada sekitar 0,4 persen atau sekitar 600.000 jiwa warga negara Indonesia (WNI) yang pernah melakukan tindakan radikal.
“Data itu dihitung berdasarkan jumlah penduduk dewasa yakni sekitar 150 juta jiwa. Karena, kalau balita tidak mungkin melakukan gerakan radikal,” katanya.
Ada juga kelompok masyarakat yang rawan terpengaruh gerakan radikal, yakni bisa melakukan gerakan radikal jika diajak atau ada kesempatan, jumlahnya sekitar 11,4 juta jiwa atau 7,1 persen.
Sedangkan, sikap intoleransi di Indonesia, menurut Yenny juga cenderung meningkat dari sebelumnya sekitar 46 persen dan saat ini menjadi 54 persen.
Untuk itu, di sini, pemerintah – pusat maupun daerah – mempunyai peranan penting dalam membantu meredam tingginya intensitas ujaran kebencian itu. Bisa dengan menggelar acara-acara yang positif dari berbagai instansi pemerintahan maupun sosialisasi gencar-gencaran terkait dengan penggunaan media sosial yang positif.
Terkait dengan pengertian radikalisme dan intoleransi, menurut Yeni, radikalisme adalah tindakan yang merusak atau berdampak merusak kelompok masyarakat lainnya di tengah kehidupan bermasyarakat di Indonesia, misalnya perusakan rumah ibadah agama lain.
Sedangkan, intoleransi adalah sikap yang melarang atau tidak membolehkan, kelompok lain atau orang lain, mengekspresikan hak-haknya, misalnya dilarang melakukan kegiatan yang legal. “Sebagai contoh, etnis tertentu tidak boleh bekerja di profesi tertentu atau tidak boleh menampilkan budaya etniknya,” katanya.
Pembicara lain dalam dialog yang diselenggarakan oleh IBI Kesatuan dan Panitia Bogor Street Festival CGM 2020 tersebut adalah, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Aktivis dari Yayasan Generasi Damai Irvan. (ed.AS/ibadah.co.id/an)