Ibadah.co.id-Pandemi covid-19 yang menyelimuti dunia belum usai sampai sekarang, khususnya Indonesia yang memungkinkan untuk memakai masker.
Dilansir dari katadata.co.id tercatat sebanyak 9.771 positif, 784 meninggal, dan 1.391 sembuh. Hal itu menandakan situasi bumi ini dalam keadaan kondisis tidak sehat sehingga kestabilan bumi terganggu.
Lewat mewabahnya covid-19 dengan cepat dan pesat melalui pernafasan dan kulit manusia. Semua pemerintah sepakat di seluruh dunia untuk menjalani masa lokcdown, yaitu melarang semua warga negara agar tidak keluar rumah di saat pandemi covid-19. Namun, jika dalam keadaan terdesak seperti membeli kebutuhan keluarga dan sebagainya, maka tetap menggunakan masker.
Adapun masalah masker saat pandemi covid-19 menimbulkan masalah dan hukum, terutama tuntutan masker di zona merah, baik kegiatan ibadah, sosial, dan lainnya. Kemudian, muncullah pertanyaan dari masyarakat tentang hukum memakai masker saat shalat.
Dikutip di Konsultasi Syariah, Rabu (29/04), para ulama sepakat bahwa menutup mulut dalam shalat hukumnya makruh, baik laki-laki atau perempuan. (Fatwa Syabakah Islamiyah, No. 52652). Hal ini berdasarkan Hadis Nabi Muhammad Saw, “Rasulullah Saw melarang seseorang menutup mulutnya saat shalat.” (HR. Abu Daud 643, Ibnu Majah 966, Ibnu Hibban 2353, dan dihasankan Syuaib al-Arnaut).
Adapun hukum seseorang yang memakai masker atau penutup mulut saat shalat adalah makruh tapi tidak membatalkan shalat. Artinya, shalatnya sah dan tidak perlu mengulanginya lagi, namun sangat dibenci Allah.
Hal ini ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’, 3/179 mengatakan, makruh seseorang melakukan shalat dengan talatsum (penutup mulut sampai hidung). Artinya, menutupi mulut dengan tangannya atau lainnya. Adapun istilah makruh di sini adalah makruh tanzih (tidak haram) dan tidak menghalangi keabsahan shalat.
Lalu jika kita kaitkan dengan kondisi sekarang yang mengharuskan untuk memakai masker sebagai bentuk antisipasi tersebarnya virus corona ke dalam tubuh kita saat beribadah shalat, maka hukum yang awalnya makruh menjadi mubah berdasarkan dengan kaidah yang ditetapkan ulama usul fikih, yaitu: “hukum makruh bisa menjadi hilang, jika ada kebutuhan.” (HN/Kontributor)