Apakah Kotoran Telinga itu Suci?
Ibadah.co.id –Banyak dari kita yang menganggap bahwa kotoran telinga itu najis. Apakah memang demikian? Bagaimana penjelasannya? Berikut ini akan dipaparkan dan diperbandingkan dengan contoh barang-barang najis atau jijik lainnya.
Syariat Islam menganjurkan pada manusia agar membasuh telinga pada saat wudhu, hikmah di balik anjuran membasuh telinga pada saat wudhu ini tak lain merupakan bentuk perhatian syarak pada kebersihan telinga seseorang sehingga dapat berfungsi secara normal. Dalam hal ini, dalam Ta’liqus Sunanis Shagir lil Baihaqi dijelaskan:
Artinya, “Membasuh kedua telinga (pada saat wudhu) bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan zat-zat yang terhimpun di dalamnya berupa debu yang terkadang dapat mengakibatkan lemahnya pendengaran atau telinga akan terkena infeksi, jika hal demikian menyebar pada telinga bagian dalam yang merupakan pusat keseimbangan tubuh, maka akan membuat keseimbangan tubuh menjadi tidak teratur,” (Lihat Dr Abdul Mu’thi Amin Qal’aji, Ta’liqus Sunanis Shagir lil Baihaqi, juz I, halaman 25).
Lalu bagaimana sebenarnya status kotoran yang biasa hinggap dalam telinga seseorang? Apakah dihukumi najis sehingga wajib untuk dibasuh, atau dihukumi suci?
Kotoran yang terdapat di dalam telinga dihukumi suci layaknya cairan-cairan lain yang keluar dari lubang-lubang tubuh (manafidz) selain kubul dan dubur, seperti air liur dan ingus. Ketentuan ini seperti yang tersirat dalam Kitab Hasyiyatul Baijuri:
Artinya, “Segala benda cair yang keluar dari dua jalan adalah najis. Maksud dari cairan yang keluar dari dua jalan adalah keluar dari salah satu dua jalan yang berupa qubul dan dubur. Dikecualikan dengan perkataan ‘dari dua jalan’ yaitu perkara yang keluar dari lubang-lubang tubuh yang lain (telinga, hidung, mulut) maka dihukumi suci kecuali muntahan yang keluar dari mulut setelah awalnya muntahan tersebut telah sampai pada perut, meskipun warna muntahan tidak berubah,’ (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, juz I, halaman 100).
Berdasarkan referensi tersebut, maka tidak masalah jika kotoran telinga ini hinggap di bagian dasar telinga atau tersangkut dalam cotton buds ketika dibersihkan, meski hal yang baik adalah segera membersihkannya karena kotoran telinga dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan (mustaqdzar) meski tidak sampai dihukumi najis.
Namun kesucian kotoran telinga ini ketika memang kotoran tidak berupa nanah atau darah yang berasal dari dalam telinga atau luar telinga. Sedangkan ketika kotoran telinga bercampur dengan nanah (qayh), atau cairan yang keluar dari telinga berupa nanah (baca: kopok) yang terkadang berbau menyengat, maka kotoran telinga dengan jenis demikian dihukumi najis, baik itu sedikit atau banyak.
Sedangkan ketika kotoran yang keluar dari telinga berupa darah, karena terkena penyakit atau luka yang terdapat dalam telinga misalnya, maka kotoran telinga dengan jenis demikian dihukumi najis yang di-ma’fu ketika hanya sedikit sehingga tidak berpengaruh terhadap keabsahan shalat. Berbeda halnya ketika kotoran telinga yang berupa darah ini banyak, maka kotoran tersebut dihukumi najis dan wajib dibersihkan ketika hendak melakukan shalat.
Hal yang menjadi pijakan dalam menentukan banyak sedikitnya darah yang keluar dari telinga adalah pandangan umum manusia (‘urf). Jika umumnya manusia menilai bahwa kotoran darah yang keluar dari telinga dianggap banyak, maka dihukumi najis, namun jika masih diangap sedikit maka dihukumi najis yang di-ma’fu. Ketentuan demikian seperti yang dijelaskan dalam Kitab Tarsyihul Mustafidin:
Artinya, “Dan dihukumi najis yang di-ma’fu yaitu darah nyamuk, dan darah lain ketika sedikit dan bukan najis yang mughallazhah. Berbeda ketika darah tersebut banyak. Sebagian dari najis yang di-ma’fu ketika sedikit yaitu darah yang terpisah dari tubuh lalu mengenai bagian tubuh. Dan di-ma’fu pula sedikitnya darah haid, darah mimisan seperti yang dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu’.
Disamakan dengan darah haid dan mimisan yaitu darah yang keluar dari lubang-lubang tubuh yang lain kecuali darah yang keluar dari (kotoran) perut yang najis, seperti pada tempat buang air besar. Hal yang dijadikan pijakan dalam menentukan sedikit banyaknya darah adalah pandangan umum manusia (‘urf), sedangkan sesuatu yang masih diragukan apakah suatu darah dianggap banyak, maka darah tersebut dihukumi sedikit,” (Lihat Sayyid Alwi bin Ahmad As-Segaf, Tarsyihul Mustafidin, halaman 43).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kotoran telinga secara umum dihukumi suci kecuali ketika kotoran yang keluar berupa nanah dan darah. Jika kotoran yang keluar berupa nanah maka dihukumi najis secara mutlak. Sedangkan ketika kotoran yang keluar berupa darah maka dihukumi najis yang di-ma’fu ketika sedikit dan dihukumi najis ketika kotoran darah yang keluar dalam jumlah yang banyak. Wallahu a’lam.
(Ed.AT/Ustadz Ali Zainal Abidin/ibadah.co.id/nu online)