Jakarta, Ibadah.co.id –K.H. Abdul Wahab Chasbullah yang akrab disapa Mbah Wahab adalah salah satu figur ulama penting dalam sejarah bangsa di Indonesia. Salah satu pendiri organisasi Islam terbesar di dunia (Nahdlatul Ulama) ini, selain dikenal sebagai tokoh agama Islam yang mumpuni juga merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang gigih.
Atas berbagai kiprahnya dalam pengembangan ajaran Islam di tanah air sekaligus dalam perjuangannya membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin menyebut Mbah Wahab ini sebagai ahli penggerak perubahan dan pencetus solusi kebangsaan.
“Saya melihat Mbah Wahab itu sebagai seorang yang faqihun, muharriqun, munafzimun, mutawarri’un, artinya beliau itu seorang faqih, seseorang yang mengerti hukum Islam, bukan hanya masalah- masalah ibadah, tetapi juga menyelesaikan persoalan bangsa dan negara,” ungkap Wapres saat menghadiri acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Haul ke-52 K.H. Abdul Wahab Chasbullah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Minggu (15/10/2023).
Hal ini, lanjut Wapres, salah satunya dibuktikan saat terjadi kemelut di era awal kemerdekaan, dimana saat itu Bung Karno dipersoalkan keabsahannya sebagai Presiden oleh banyak pihak, karena tidak dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi Mbah Wahab dengan para ulama berdiri tegak dengan keyakinan bahwa Bung Karno adalah Presiden Republik Indonesia yang sah.
“Kalau Presiden tidak sah, Menteri Agama tidak sah, kalau Menteri Agama tidak sah maka Kepala KUA tidak sah, kalau Kepala KUA tidak sah maka ketika menikahkan pasangan suami-istri tidak sah, yang berarti mereka akan melahirkan anak di luar nikah semua,” terang Wapres.
Oleh karena itu, sambungnya, Mbah Wahab dan para ulama sepakat bahwa Bung Karno harus sah sebagai presiden. Meskipun tidak dipilih langsung oleh rakyat, Bung Karno secara fiqih dianggap memiliki syarat untuk menjadi Presiden karena memegang kekuasaan dalam keadaan darurat.
“Maka ditetapkanlah Bung Karno sebagai Presiden yang sah karena beliau adalah waliyul amri dhoruri bissyaukah (pemimpin dalam keadaan darurat),” tegas Wapres.
Hal inilah, kata Wapres, yang mengokohkan Mbah Wahab sebagai pencetus solusi kebangsaan dan kenegaraan. Karena kedalaman ilmu fiqihnya, sehingga ia dapat mengubah dalil keagamaan menjadi solusi masalah kebangsaan.
“Kalau beliau bukan ahli fiqih, tentu tidak bisa memutuskan hal itu,” ujarnya.
Selain itu, Wapres menuturkan bahwa Mbah Wahab selain pencetus solusi kebangsaan, ia juga merupakan seorang penggerak. Saat itu, menurutnya, Mbah Wahab berani membuat forum diskusi yang bernama Taswirul Afkar.
“Beliau itu ulama muda yang memiliki kreativitas tinggi sekali, sehingga melahirkan Nahdlatul Wathan, seseorang yang menggerakkan kebangkitan tanah air,” ungkapnya.
Gerakan ini, sambung Wapres, menjadi cikal bakal munculnya gerakan nasional yang di dalamnya terdapat prinsip “hubbul wathan minal iman” atau cinta tanah air adalah bagian dari iman. Prinsip ini oleh Mbah Wahab diwujudkan dalam gubahan lagu “Ya Lal Wathan”.
“Di Taswirul Afkar itulah lahir gerakan, sehingga saya sampaikan Mbah Wahab adalah penggerak gerakan cinta tanah air (hubbul wathan),” ucapnya.
Bahkan hingga saat ini, menurut Wapres, hubbul wathan dalam hal ini menjaga tanah air telah menjadi bagian dari prinsip besar dalam menjalankan syariah (maqashid syariah). Karena dengan menjaga tanah air, maka secara otomatis maqashid syariah yang lain seperti menjaga agama, kehidupan, harta, keturunan, keamanan, dan lingkungan akan dapat diwujudkan.
“Tanpa kedamaian, dunia ini tidak akan tenang. Tidak akan terjadi ketentraman. Seperti sekarang kita lihat masih ada perang Ukraina – Rusia yang berdampak luar biasa secara global, seperti; krisis pangan dan energi, termasuk yang terakhir terjadi perang Israel- Palestina,” ujarnya.
Kemudian, selain menjadi penggerak perjuangan, Wapres menyebutkan bahwa Mbah Wahab juga termasuk penggerak bangkitnya para pengusaha (nahdlatul tujjar), terutama pengusaha yang bergerak sesuai prinsip syariah.
“Beliau menggerakkan pengusaha-pengusaha, karena memang peran pengusaha itu penting. Negara tidak cukup mampu untuk melakukan pembangunan, maka harus ada peran pengusaha,” tuturnya.
Terakhir, pada kesempatan ini Wapres menceritakan kiprah besar Mbah Wahab bersama K.H. Hasyim Asy’ari dalam menggerakkan para ulama melalui pendirian Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi revolusioner yang melakukan perbaikan- perbaikan dalam berbagai bidang.
“Yang diperbaiki tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga kemasyarakatan termasuk ekonomi, pendidikan, budaya, termasuk politik,” pungkasnya.
Sebelumnya, perwakilan Dzuriyah (keturunan) K.H. Abdul Wahab Chasbullah, Machfudhoh Aly Ubaid, dalam sambutannya mengajak para penerus Mbah Wahab untuk benar-benar meneladani ajarannya, khususnya dalam mencintai tanah air, seperti yang tercermin dalam syair yang digubah Mbah Wahab dalam lagu “Ya Lal Wathan”.
“Syair ini bagi kami semua bukan sebatas percikan syair semata yang dilantunkan melalui gemuruh suara, namun juga menjadi nilai dan citra dari K.H. Abdul Wahab Chasbullah,” ujarnya.
Nilai dan citra ini, tambah Machfudhoh, yang menggambarkan perjuangan Mbah Wahab untuk meracik kebangsaan dengan nafas agama Islam serta semangat nilai yang meneguhkan kokohnya peran keulamaan Mbah Wahab untuk tanah airnya, Indonesia.
Selain itu, pada kesempatan ini Machfudhoh juga mengajak, khususnya generasi muda untuk meneladani ketawadhuan Mbah Wahab dalam menghormati guru dan sesepuh.
“Ketika tahun 1947, saat K.H. Hasyim Asyari pulang ke rahmatullah, K.H. Abdul Wahab Chasbullah menjadi Rais Aam. Ini menarik, (karena) Mbah Wahab tidak menggunakan gelar ‘Rais Akbar’ seperti halnya K.H. Hasyim Asy’ari. Ini tentu menjadi sikap dan prilaku yang menggambarkan keteladanan seorang santri terhadap gurunya, sikap dan ketakdziman seorang santri terhadap kiai yang dihormatinya. Inilah keteladanan yang saya harapkan bisa diteladani dalam fenomena hari ini,” terangnya.
Sebab saat ini, menurut Machfudhoh, rasa takdim anak muda terhadap guru dan ulama mulai terkikis, khususnya di media sosial, terlebih apabila berkaitan dengan politik.
“Sungguh sangat disayangkan apabila adab itu hilang, tidak lagi digunakan hanya karena urusan ideologi dan politik. Maka dari pada itu, izinkan saya mengajak, sebagai sambutan penutup dari sambutan saya, untuk kembali menyelami samudera teladan K.H. Wahab Chasbullah, mulai dari tindak laku, sopan santun, relasi dan penghormatan beliau terhadap guru dan orang yang lebih sepuh, termasuk kepeloporan beliau untuk membawa NU dan Indonesia maju ke masa depan dengan digdaya,” tandasnya.
Sebagai informasi, K.H. Abdul Wahab Chasbullah atau Mbah Wahab merupakan salah satu ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat berjasa untuk bangsa Indonesia. Mbah Wahab juga adalah seorang orator ulung, ahli politik, serta pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Mbah Wahab lahir di Jombang pada 31 Maret 1888. Ia adalah putra dari pasangan K.H. Hasbullah Said, Pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur dengan Nyai Latifah. Mbah Wahab memiliki garis keturunan kepada Raja Brawijaya IV dan Brawijaya V pada jalur yang lain.
Mbah Wahab wafat di Jombang pada usia 83 tahun atau tepatnya pada 29 Desember 1971. Pada 7 November 2014, Mbah Wahab bersama dengan Djamin Ginting, Sukarni Kartodiwirjo, dan H.R. Muhammad Mangundiprojo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo.
Masa pendidikan Mbah Wahab dari kecil hingga dewasa banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari berbagai pesantren di tanah Jawa. Karena tumbuh di lingkungan pondok pesantren, sejak dini Mbah Wahab diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar.
Setelah lama menimba ilmu di berbagai pesantren, seperti halnya kebanyakan santri Jawa saat itu, Mbah Wahab pada umur 27 tahun mulai memperdalam ilmunya di Makkah, Arab Saudi. Ia belajar di kota suci ini selama kurang lebih 5 tahun. Di Makkah, Kiai Wahab berguru kepada para ulama terkemuka, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muchtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khotib Minangkabau, Syaikh Sa’id Al-Yamani, dan Syaikh Ahmad Abu Bakri Sata.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Mbah Wahab juga turut serta dalam proses keluarnya “Fatwa Resolusi Jihad” untuk melawan penjajah. Fatwa inilah yang menjadi pemantik pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya untuk mengusir Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan cara membonceng tentara Sekutu.
Pada tahun 1934 Mbah Wahab menulis lagu Ya Lal Wathon yang menekankan cinta tanah air adalah sebagaian dari iman. Hingga kini, lagu penggelora semangat kebangsaan tersebut banyak dinyanyikan khususnya di kalangan warga Nahdliyyin.
Pada acara yang diiringi penampilan 1000 hadroh ini, juga dilakukan pembagian santunan terhadap 100 anak yatim.
Hadir pada acara ini Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qolbi, Imam Besar Masjid Istiqlal K.H. Nasaruddin Umar, Habib Jindan Bin Novel, Ustadz Das’ad Latief, serta para Dzuriyah K.H. Abdul Wahab Chasbullah di antaranya K.H. Hasib Abdul Wahab, K.H. Roqib Abdul Wahab, Ny. Hj. Munjiddah Abdul Wahab, Ny. Hj. Hizbiyyah Abdul Wahab, dan Gus Ubaidillah Sadewa.
Sementara Wapres didampingi oleh Ibu Hj. Wury Ma’ruf Amin, Staf Khusus Wapres Robikin Emhas dan Zumrotul Mukaffa.
Sumber : Wapres