Ibadah.co.id – Di tengah-tengah berkembangnya berbagai isu di tanah air, mulai dari isu politik, agama, pemerintahan, sosial-budaya, kemanusiaan, dan lain sebagainya, ada satu hal menarik yang masih seru untuk kita perbincangkan. Tak lain hal tersebut merupakan pola keberagamaan masyarakat kita yang cenderung ke arah konservatisme. Hal ini sebenarnya bukanlah fenomena baru di tengah-tengah kita. Hanya saja, saat ini pola keagamaan yang seperti ini masif ditampakkan ke media seperti bisul di pundak yang tanpa dirasa keberadaannya oleh si pelaku.
Munculnya konservatisme keagamaan tidak lepas dari beberapa hal yang melatarbelakangi. Satu hal mendasar ialah disebabkan munculnya berbagai paham keagamaan baru yang bercorak eksklusif. Lahirnya era reformasi adalah awal bagi paham-paham keagamaan itu mulai masuk dan berkembang di Indonesia. Saat ini, melalui media sosial, paham-paham kegamaan yang demikian makin menemukan ruang gerak yang sempurna untuk melebarkan sayap. Alhasil, memang banyak yang tertarik untuk ikut ‘nyemplung’ ke dalamnya.
Merebaknya fenomena ‘hijrah’ juga tidak dapat dipungkiri menjadi faktor dari konservatisme agama, terutama di kalangan anak muda. Hijrah menjadi trend yang ‘praktis’ bagi anak muda zaman sekarang untuk menempuh ‘jalan suci’ keridaan Tuhan. Melalui bimbingan ustaz, entah dengan ikut pengajian-pengajiannya secara langsung atau sekadar lewat media sosial, mereka begitu semangat menjalaninya. Biasanya, fenomena semacam ini ditandai dengan kentalnya perilaku simbolik keagamaan sebagai rangkaian dari jalan hijrah itu sendiri.
Akibat dari yang kedua ini adalah perilaku kegamaan yang menggebu-gebu, namun tanpa dilandasi dengan penguasaan pengetahuan agama yang luas. Tendensi cakrawala pengetahuan mereka biasanya hanya pada yang sifatnya furu’iyah serta terpaku pada satu-dua dalil yang dianggapnya sudah mewakili dari satu laku kegamaan. Fanatisme terhadap satu tokoh agama juga menjadi pemicu sempitnya keilmuan mereka sehingga mereka menganggap hanya seorang ustaz itulah yang dapat dijadikan pedoman.
Beralihnya kehidupan masyarakat kita kepada yang serba instan, semakin menguatkan eksistensi mereka di tengah-tengah kita. Mereka lebih senang terhadap sesuatu yang bisa lebih mudah dijangkau, lebih mudah untuk didapatkan, tanpa terkadang memikirkan dahulu dampak yang ditimbulkan. Melalui smartphone, mereka tinggal duduk santai menonton video-video tausiah terbaru ustaz medsos yang kondang, kemudian mentransfernya sebagai ilmu keagamaan yang valid. Mereka lebih senang belajar agama melalui cara demikian ketimbang belajar langsung kepada seorang guru yang jelas sanad keilmuannya.
Melalui sebatas hal itulah yang bisa membuat seseorang menjadi salah dalam pemahaman ilmu agama. Ujung-ujungnya menyalahkan orang lain yang beda pemahaman, lebih parah lagi sampai mengecap sesat bahkan kafir kepada sesama muslim. Di sinilah juga salah satu benih radikalisme muncul. Banyak kasus yang sudah terjadi membuktikan bahwa hanya dengan menonton youtube, seseorang bisa muncul sebagai teroris yang mencelakakan banyak orang bahkan saudara sesama muslim sendiri.
Di media sosial, bukan hanya sekelompok orang dari kalangan tertentu saja yang tampil sebagai pendakwah yang menularkan pemahamannya kepada orang banyak. Di sinilah perang ideologi dalam media sosial terjadi. Yang satu menyerang kelompok lain, dibalas, diserang kelompok lainnya lagi, ditahan, dan seterusnya begitu. Tentu dalam beberapa kelompok itu ada yang menghadapinya tetap menggunakan cara-cara yang santun dan bijak, dengan tetap berpedoman kepada asas ukhuwah islamiyah. Biar bagaimana pun, sesama muslim itu bersaudara. Perbedaan pandangan dan pendapat merupakan sebuah rahmat, keniscayaan, dan sudah menjadi hal biasa.
Muncul kemudian berbagai macam ustaz dari aliran keagamaan tertentu dengan karakteristiknya masing-masing. Sebagian ada yang memang mumpuni dalam segi keilmuan, tapi sedikit mempunyai pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan negara. Ada lagi misal yang dari kapasitas keilmuan memang tidak memadai, sanad keilmuannya pun tidak jelas, tapi karena pandai bicara dan lihai dalam mengkontekskan sesuatu kepada isu-isu kekinian melalui bungkus agama, ia jadi terkenal. Bahkan mempunyai banyak pengikut.
Aneh memang. Di satu sisi semangat dalam beragama menggebu-gebu, tapi tidak diimbangi dengan semangat keilmuan yang mapan. Belajar melalui medsos bukannya tidak boleh, hanya saja jika porsinya tidak tepat bisa membuat fatal diri kita sendiri, terlebih jika nanti merambat kepada orang lain. Belajar dari guru yang sanad keilmuannya jelas itu penting. Dan satu hal lagi: belajar langsung. Tidak cukup hanya sekadar lewat youtube. Sebagian orang berpendapat, pengetahuan yang didapat tanpa melalui kontak langsung dengan guru, melalui youtube misal, maka sanad keilmuannya tetap tidak bersambung.
Kita bisa menggali spirit keilmuan kepada santri-santri zaman dulu. Melalui semangat keilmuan yang tinggi, mereka rela menempuh perjalanan bahkan dengan berjalan kaki hingga ribuan kilometer hanya untuk menemui seorang guru, menimba ilmu darinya. Keterbatasan sarana di zaman itu tidak menjadikan penghalang bagi mereka, sebab itu adalah rangkaian dari prasyarat dalam menuntut ilmu. Tidak heran bila dalam sebuah hadis―meski sebagian mengatakan dhaif―Nabi sampai berkata: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Ibrah yang bisa diambil dari hadis tersebut adalah urgensi semangat keilmuan dalam diri seseorang. Betapa pun ilmu itu susah didapat, meski harus menempuh ribuan kilo perjalanan, menyebrangi lautan, ia tetap harus dicari. Maka tidak ada alasan bagi kita yang hidup di zaman ini dengan segala akses kemudahannya untuk bermalas-malasan, atau justru malah makin mencari kemudahan di tengah kemudahan.
Selain tak lepas dari laku keagamaan yang kental, santri-santri zaman dulu juga rajin muthala’ah. Mempelajari dan mengkaji ulang segala yang didapat dari seorang guru atau kiai. Mereka mengamalkan ilmu dan ajaran-ajaran moral yang diterima dari kiai sebagai implementasi dari proses intelektualnya. Tidak hanya mentok di penguasaan teori tok.
Maka dari itu, antara spiritualitas dan intelektualitas harus terus berdampingan. Pengamalan laku keagamaan bila tidak dimbangi dengan semangat keilmuan akan menjadikan seseorang menjadi konservatif dan cenderung menyalahkan orang lain yang tidak sepaham. Mengandalkan media sosial sebagai sarana satu-satunya menggali ilmu pengetahuan merupakan kesalahan besar. Ia, di kemudian hari, bisa jadi bumerang yang bisa membahayakan banyak orang, lebih-lebih diri sendiri. (RB)