Take a fresh look at your lifestyle.

- Advertisement -

Dasar Hukum Puasa 10 Hari Pertama di Bulan Dzulhijjah

0 125

Ibadah.co.id – Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah merupakan hari istimewa. Di hari-hari itu terkumpul berbagai macam ibadah yang bisa bergabung menjadi satu waktu di mana tidak dimiliki oleh bulan-bulan lain. Di antaranya ada ibadah shalat, puasa, sedekah (kurban) dan haji. Ibadah haji ini tidak bisa didapatkan di bulan lain.

Sepuluh hari awal Dzulhijjah merupakan momen hari penting yang digunakan Allah untuk bersumpah dalam Surat Al-Fajr,  artinya, “Demi waktu subuh (1) Dan sepuluh malam (2).”

Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan sejumlah ulama salaf dan ulama kontemporer lain menaggapi bahwa sepuluh malam yang dimaksud pada ayat ini adalah sepuluh malam pertama pada bulan Dzulhijjah.

Argumentasi ini diperkuat dengan hadis yang dikutip Ibnu Katsir dari Shahih Bukhari.

Artinya, “Dari Ibnu Abbas dengan kualitas hadis marfu’. Tidak ada hari-hari di mana amal sholih lebih disukai Allah pada hari itu dari pada hari-hari ini, maksudnya sepuluh hari Dzul Hijjah. Kemudian para sahabat bertanya, ‘Dan bukan pula jihad, ya Rasulallah?’ Rasul lalu menjawab, ‘Dan tidak pula jihad di jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar membawa diri dan hartanya kemudian ia pulang tak lagi membawa apa-apa,’” (HR Bukhari 969).

Dengan hadits di atas, cukup jelas bahwa ibadah apapun bentuknya pada sepuluh hari tersebut sangat dianjurkan, termasuk shalat, puasa dan lain sebagainya. Hanya saja, karena puasa dilarang pada hari Idul Adha, maka puasa terhitung sebanyak sembilan hari.

Sungguh tidak tepat jika ada orang yang mengatakan bahwa puasa awal Dzulhijjah tidak ada dalilnya. Keumuman hadits marfu’ di atas cukup menjadi dasar puasa 9 hari Dzulhijjah di mana Nabi mendorong umatnya untuk berbuat amal saleh.

Ada spesifikasi puasa yang lebih ditekankan oleh Rasul dari pada ibadah 9 hari Dzulhijjah yaitu puasa pada tanggal 9 atau yang terkenal dengan puasa hari Arafah bagi selain orang yang sedang menjalankan ibadah haji.

Orang yang sedang menjalankan ibadah haji tidak disunahkan menjalankan puasa tersebut karena Rasulullah saat haji juga tidak menjalankan puasa Arafah.

Artinya, “Pengarang kitab (Al-Muhadzab) berkata, ‘Dan disunahkan bagi selain orang yang berhaji untuk puasa pada hari Arafah, karena mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Qatadah, dia berkata. Berkata Rasulullah SAW, ‘Puasa hari Asyura’ bisa menghapus dosa selama setahun. Puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun. Setahun sebelumnya dan setahun yang akan datang.’”

Dan tidak disunahkan (puasa) tersebut bagi orang sedang berhaji karena berdasar pada hadis yang diriwayatkan oleh Umul Fadhl binti Haris. ‘Sesungguhnya para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut pada hari Arafah tentang apa yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Rasul dulu (saat berhaji) berpuasa sedangkan sebagian yang lain mengatakan tidak berpuasa. Lalu Umul Fadhl menghaturi Rasul segelas susu sedang beliau masih duduk di atas ontanya pada padang Arafah, lalu Rasul meminumnya. Karena berdoa pada hari ini (Arafah) adalah sangat besar pahalanya sedang puasa itu melemahkannya, maka tidak puasa itu lebih utama. (Al-Majmu’, juz 6, halaman 379).

Dengan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan. Pertama, puasa sembilan hari pertama Dzulhijjah adalah sunah berdasar atas keumuman hadits Rasulullah tentang keutamaan hari-hari tersebut untuk menjalankan ibadah sunah apapun bentuknya.

Kedua, puasa tanggal sembilan Dzulhijjah atau puasa Arafah adalah kesunahan yang lebih spesifik lagi dengan pahala seperti puasa dua tahun. Setahun di masa lampau dan setahun yang akan datang. Wallahu a‘lam. (ed.AS/ibadah.co.id/nuonline)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy