Ibadah.co.id – Beberapa hari yang lalu presiden Jokowi mengusulkan istilah radikalisme diganti dengan manipulator agama. Usulan ini mengundang respon kontroversial dari berbagai elemen masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak wacana pemerintah mengubah istilah radikalisme dengan manipulator agama. Sebab secara makna istilah tersebut jauh berbeda.
Menurut MUI daripada ribut soal istilah, sebaiknya pemerintah fokus mengoptimalisasi deradikalisasi. Sebab untuk menyelesaikan radikalisme dan paling tidak menekan penyebaran paham dan tindakan radikal butuh bergantung pada proses deredaikalisasi itu sendiri. Bukan pada istilah.
“Ketimbang mengurusi pengubahan istilah radikalisme mending pemerintah fokus melaksanakan deradikalisasi yang saat ini belum optimal,” ujar Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis kepada wartawan, Sabtu (2/11/2019)
Menurut dia, manipulator agama dengan radikalisme sangat jauh berbeda. Radikalisme merupakan pemahaman mendalam terhadap sebuah ajaran namun cenderung ekstrim dan itu berlanjut pada tindakan sehari-hari. Sementara manipulator agama berarti pihak yang menggunakan agama sebagai topeng untuk mengelabui orang lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan materi maupun imateri.
Dengan begitu, kata dia, pengertian kedua istilah itu berbeda dan pergantian Istilah bisa menghilangkan substansi mengenai paham dan tindakan ekstrim. Maka ketimbang mendiskusikan hal yang tidak penting itu, lebih baik pemerintah fokus menangani akar masalah radikalisme.
“Mari kita fokus mengatasi dan mencegah radikalisme daripada berdebat soal wacana yang hanya bisa menghilangkan substansi ihwal radikalisme. Personal itu penyebabnya banyak, selain perlu pelurusan pemahaman agama yang tentunya membutuhkan peran pemuka agama, juga kerap disulut oleh kemiskinan juga ketidakadilan dan dua hal itu hanya bisa ditangani pemerintah,” jelasnya.
Ia mengatakan penanganan radikalisme sejauh ini belum berjalan baik. Baru diatasi di permukaan melalui pendekatan represif aparat keamanan. Cara itu berhasil dalam hal menjaga kondusifitas keamanan, sementara paham radikal yang menjadi motornya tidak tersentuh.
“Saran saya pemerintah perlu lebih masif lagi merangkul semua kalangan pemuka agama apapun karena paham ekstrim tidak hanya menghinggapi satu agama. Tentunya pemuka yang khatam dan ahli soal ajaran agamanya masing-masing untuk mengembalikan mereka yang sudah terpapar dan mencegah yang belum. Kemudian pemerintah juga perlu bekerja ekstra mengentaskan kemiskinan dan memperbaiki penegakan hukum supaya menghadirkan keadilan,” paparnya (RB)