K.H.R Asnawi Kudus: Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Ibadah.co.id – Kiai Asnawi dilahirkan di Kudus, Jawa tengah pada tahun 1861 dan tumbuh besar di lingkungan pesantren. Ayah beliau bernama H. Abdullah Husnin dan ibunda bernama R. Sarbinah. Orang tua beliau merupakan pedagang, tetapi beliau lebih tertarik terhadap ilmu-ilmu keislaman.
Dilansir dari republika.co.id pada 24/07/20, Raden Ahmad Syamsi merupakan nama asli beliau. Nama raden menandakan bahwasanya beliau merupakan salah satu keturunan Sunan Kudus ke-14 dan keturunan ke5 dari KH Mutamakin seorang wali yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
Sedari kecil beliau dibesarkan dan didik oleh kedua orang tuanya dengan Al-Qur’an. Ketika memasuki masa remaja, beliau pergi bersama kedua orang tuanya ke Tulungagung untuk mengenal islam lebih dalam sekaligus belajar cara berdagang. Pesantren yang ditempati bernama Pesantren Mangunsari, Tulungagung.
Kemudian beliau meneruskan jenjang pendidikannya di Makkah selama 22 tahun lamanya. Di Makkah beliau menimba ilmu kepada guru dari Jawa maupun guru asli Arab. Selama di Makkah Kiai Asnawi tinggal di kediaman Syekh Hamid Manan dari Kudus.
Selama belajar di Makkah beliau terkenal saangat cerdas dan kritis. Beberapa waktu kemudian beliau menikah dengan mantan istri Syekh Nawawi Al-Bantani bernama Nyai Hj Hamdanah dan dikaruniai sembilan orang anak putra dan putri.
Kiai Asnawi dikenal sebagai ulama yang mengajarkan paham ahlussunah wal jamaah (Aswaja) yang gigih. Ia melaku kan dakwah ke berbagai pelosok daerah di Kudus, Demak, Jepara, dan sekitarnya sehingga ia dekat dengan masyarakat.
Kiai Asnawi juga merupakan seorang ulama yang terkenal gemar menulis. Beberapa karyanya tercatat sebagai karya yang penting dan banyak digunakan oleh masyarakat baik yang berbentuk buku maupun syair. Karya beliau berkaitan erat dengan ilmu akidah, fikih, dan tasawuf yang masih banyak digunakan pesantren-pesantren untuk santrinya belajar.
Fashalatan adalah salah satu karya Kiai Asnawi yang berisi tentang hokum-hukum fikih yang secara terperinci memaparkan tentang sholat.
Hingga pada akhirnya tahun 1919 Kiai Asnawi mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Madrasah Qudsiyyah. Letaknya berdekatan dengan Menara Kudus dan merupakan madrasah salafiyah murni yang hingga sekarang masih tetap aktif digunakan.
Ada sebuah kejadian unik di tengah Kiai Asnawi tengah mengajar. Saat itu beliau sedang berada di surau tempat beliau mengajar. Ternyata Jepang sudah mengepung Kiai Asnawi dan langsung menangkapnya. Akhirnya beliau dimasukkan ke dalam sel tahanan oleh tentara Jepang. Anehnya, setelah sesaat beliau masuk ke dalam tahanan, tentara Jepang melihat beliau masih mengajar di tempat yang sama. Tentara Jepangpun menyelidikinya, ternyata beliau ada di dua tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan. Jepangpun ketakutan akan hal tersebut dan langsung melepaskan Kiai Asnawi karena menganggap beliau bukan orang sembarangan.
Sebagai pejuang kemerdekaan dan salah satu tokoh pendiri sekaligus penggerak Nahdlatul Ulama, beliau juga memiliki strategi untuk terus mengobarkan semangat nasionalisme untuk melawan penjajah dengan membuat sholawat. Sholawat tersebut diberi nama shalawat Asnawiyah. Strategi ini beliau lakukan demi keamanan masyarakat setempat dari ancaman para penjajah. lirik sholawat Berbahasa Arab diyakini tidak akan diketahui maksudnya oleh para penajajah. Kiai Asnawi wafat pada 26 Desember 1959 atau ketika beliau berusia 98 tahun. Beliau di makamkan di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Ada kisah unik dibalik pemakaman beliau. Pada waktu itu banyak sekali masyarakat dari berbagai daerah yang ingin turut serta untuk memakamkan beliau. Kondisi ramai tersebut mengakibatkan jenazah beliau sangat sulit untuk dipindahkan ke luar masjid. Akhirnya dengan sangat terpaksa keranda jenazah dikeluarkan melalui jendela dan beliau langsung dui makamkan dekat dengan jendela tersebut. Ini semua membuktikan bahwa Kiai Asnawi termasuk sosok yang sangat dikenal dan berpengaruh di tengah-tengah kehidupan masyarakat, khususnya msyarakat Nahdlatul Ulama (NU). (DAF)