Kenapa Ketika Mau Shalat Sunah Rawatib Mesti Bergeser dari Tempat Shalat Fardhu?
ibadah.co.id -Kalau ikhwanny mengerjakan ibadah shalat di Masjid atau Mushallah, pasti melihat dan mendapati banyak jemaah yang hendak melakukan shalat sunah rawatib, biasanya ba’da Jumat, Zuhur, Magrib, dan Isya’ melakukan geraakan bergeser selangkah atau dua langkah ke samping kanan-kiri atau depan-belakang dari tempat shalat fardhunya atau wajibnya. Pertanyaan yang timbul adalah: Kenapa harus bergeser? Kalau seandainya tidak bergeser kenapa? Adakah dalil yang mendasari gerakan ini? Pada kesempatan kali ini, penulis hendak mengurai sekitar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Untuk menjawab persoalan di atas, ada baiknya dimulai dari keutamaan shalat sunah yang dikerjakan di rumah secara munfarid (sendirian). Kecuali shalat sunah yang memang disyariatkan berjamaah, seperti Tarawih, Ied, Istisqa, dan Gerhana. Berikut ini adalah sedikit penjelasan, dasar, dan keutamaan shalat sunah dikerjakan di rumah.
Shalat Sunah Paling Utama Dikerjakan di Rumah
Kenapa Shalat Sunnah lebih utama dikerjakan di rumah dan Nabi Saw. sendiri memerintahkan hal tersebut. Bukankah masjid (tempat sujud) lebih utama daripada bait (tempat tinggal). Berikut beberapa alasannya:
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Hendaknya kalian mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat maktubah (disyariatkan/diwajibkan)”.
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda, “Shalat sunah yang dikerjakan seseorang tanpa dilihat orang lain sebanding dengan dua puluh lima (kali) shalat (sunah) yang dikerjakannya di hadapan orang lain”.
Dua hadis ini cukup menjadi dasar bahwa shalat sunah yang dikerjakan di rumah itu lebih utama daripada di masjid (tentu saja bukan di Masjid Haramaian dan Aqsha). Ada yang menegaskan bahwa hadis itu tertuju pada shalat rawatib. Kenapa bisa demikian, tak lain alasannya adalah kehusyu’an. Shalat di masjid banyak orang yang melihatnya, sehingga menimbulkan rasa tak tenang, bahkan ditengarai kemungkinan timbul rasa pamer (riya’) yang tinggi. Kemungkinan terlintas dalam pikiran dan hatinya, “Saya rajin melakukan shalat sunah neh”, “Shalat saya ne yang paling sempurna dan benar”, dan yang lainnya.
Ulama Syafiiyah juga mengatakan bahwa “Ibadah-ibadah sunah disyariatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas untuk (mengharapkan balasan) memandang wajah-Nya. Karenanya, semakin shalat itu tersembunyi (dalam melaksanakannya) berarti kian jauh dari perbuatan riya’ dan pandangan manusia. Sedangkan ibadah wajib, disyariatkan untuk meninggikan agama Islam dan menampakkan syi’ar-syi’arnya, maka selayaknya dilaksanakan (secara terang-terangan) di hadapan (khalayak) manusia.
Selain itu, alasan lainnya adalah “Rumahku Surgaku”. Bagaimana kretaria seboyan itu, salah satunya tentu saja adalah rumah yang di dalamnya digunakan untuk membaca lantunan ayat suci Alquran, shalat sunah, dan kegiatan keagamaan lainnya. Singkat kata, rumah yang penghuninya selalu menghidupkan kalimat-kalimat toyibah (baik) dan menghiasinya dengan ibadah-ibadah itulah yang dikatakan Surga. Surga adalah tempat kenikmatan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dengan syarat ikhlas lillahi ta’ala.
Secara tegas Rasulullah mengatkan bahwa rumah yang tak digunakan untuk membaca Alquran dan Shalat bagaikan kuburan, kehidupan yang sudah mati, tempat segala kejahatan dan istananya setan.
Rasulullah Saw. bersabbda “Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya, dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dan orang yang mati,”
Rasulullah juga bersabda bahwa “Janganlah kamu menjadikan rumahmu (seperti) kuburan (dengan tidak pernah mengerjakan salat dan membaca al-Qur’an di dalamnya). Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.”
Hadis itu jelas menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak mengerjakan shalat sunah di rumah selain mengaji. Imam Nawawi berkata, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk banyak berdzikir kepada Allah (termasuk melaksanakan salat-salat sunnah, membaca al-Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya) di rumah dan hendaknya rumah jangan dikosongkan dari berdzikir kepada Allah.”
Sekali lagi ditegaskan dari sahabat Abdullah Ibnu Umar ra. berkata sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Jadikanlah Rumah-rumah Kalian Sebagai tempat Shalat, dan jangan di buat Kuburan”. (HR. Bukhari & Muslim).
Dari sahabat Jabir yang berkata sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di masjidnya, maka hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya. Karena sesungguhnya Allah menjadikan kebaikan dalam rumahnya melalui shalatnya”. (HR. Muslim).
Memperbanyak Tempat Sujud
Mari kita simak jawaban dari pertanyaan pokok di atas, kenapa shalat sunah jika dilakukan di masjid atau mushollah, mesti bergeser dari tempat sebelumnya melaksanakan shalat fardhu. Berikut uraiannya.
Hukum bergeser dari tempat shalat fardu untuk mengerjakan shalat sunah itu adalah sunah atau dianjurkan. Hal ini dikarenakan bumi sangat mencintai orang-orang yang menjadikannya tempat sujud. Hal ini diterangkan oleh Imam Nawawi bahwa salah satu alasan disunahkan bergeser itu adalah untuk memperbanyak tempat sujud-tempat ibadah, dikarenakan bumi menjadi saksi atas kebaikan orang tersebut di akhirat kelak.
Imam Nawawi mengatakan bahwa “Menurut para ulama dari kalangan kami (Mazhab Syafiiyah), apabila orang yang shalat tidak segera kembali ke rumah, dan masih tetap ingin melaksanakan shalat nafilah (sunah) di dalam masjid, maka disunahkan baginya untuk bergeser sedikit dari tempatnya semula demi memperbanyak tempat sujudnya. Demikian ini illat atau alasan di balik anjuran berpindah atau bergerser sebagaimana dikemukakan Al-Baghawi dan selainnya,” (Lihat Muhyiddin Syarif An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 472).
Dipertegas juga oleh pendapat Imam Asy-Syaukani bahwa alasan dari pergeseran itu adalah demi memperbanyak tempat sujud. Karena pada hari perhitungan nanti bumi akan menceritakan tentang perlakuan manusia tergadap dirinya. “Illat di balik (bergesernya tempat shalat, pent.) adalah memperbanyak tempat ibadah sebagaimana dikemukakan Al-Bukhari dan Al-Baghawi. Sebab tempat sujud kelak akan menjadi saksi baginya sebagaimana firman Allah: ‘Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,’ (QS Az-Zalzalah [99]: 4). Maksudnya adalah bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat di atasnya,” (Lihat Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Awthar, Idarah At-Thiba’ah Al-Muniriyyah, juz III, halaman 241).
Pemisah Ibadah Shalat
Dalam banyak ibadah, mestilah ada penanda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya. Misalnya sebelum memulai Puasa Ramadhan, sehari atau dua hari sebelumnya dianjurkan tidak berpuasa sunah. Ini tujuannya untuk membedakan antara dimulainya puasa fardhu. Contoh lain, sebelum menunaikan shalat sunah iedul fitri, kita disunahkan sarapan terlebih dahulu sebagai petanda bahwa hari itu haram berpuasa, sedangkan Shalat Sunah Iedul Adha disunahkan makan sesudah mengerjakan shalat.
Hal ini berlaku pula dengan bergeser sebagai penanda shalat wajib dan sunah ba’diyah. Sebagaimana Rasulullah bersabda yang diriwayatkan Imam Muslim melalui sanad Mu’awiyah yang pada waktu itu menegur Saaib bin Ukhti Namr ketika langsung melakukan shalat sunah selepas shalat Jum’at di Maqshurah. Ceritanya ketika imam selesai salam, Saaib langsung berdiri di tempatnya untuk mengerjakan shalat (sunnah). Sedang Mu’awiyah melihat kejadian itu, maka Mu’awiyah mengutus seseorang kepadanya dan menyampaikan pesan.
“Jangan ulangi lagi apa yang baru saja engkau lakukan. Jika kamu shalat Jum’at, janganlah kamu menyambungnya dengan shalat lain sehingga kamu berbicara atau keluar. Karena Rasulullah Saw. memerintahkan kita seperti itu, yakni agar kita tidak menyambung satu shalat dengan shalat lain sehingga kita berbicara atau keluar terlebih dahulu.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 1463).
Bagaimana kalau misalnya tempatnya padat sehingga tidak bisa bergeser ke tempat lain? Jawabannya sama dengan hadis di atas, dengen bergeser atau berbicara. Berbicara dalam konteks ini maksudnya bisa doa-doa selepas shalat fardhu, atau bisa berbicara dengan Jemaah lainnya. Namun yang paling utama adalah berpindah tempat baik di masih dalam masjid itu atau ke rumah.
Sebagai penjelasan dari hadis di atas sangat gambalang diungkapkan oleh Imam al-Nawawi bahwa “Di dalamnya terdapat dalil yang sesuai dengan yang dikatakan para sahabat kami bahwa shalat sunnah rawatib dan lainnya disunnahkan untuk dialihkan (digeser, pent.) (pelaksanaannya) dari tempat shalat fardhu ke tempat lain. Dan berpindah tempat yang paling utama adalah ke rumahnya. Jika tidak, maka tempat lain dalam masjid atau lainnya agar tempat-tempat sujudnya semakin banyak dan agar terbedakan antara shalat yang sunah dari yang wajib. Dan sabda beliau, ‘sehingga kita berbicara’ merupakan dalil pemisah di antara keduanya bisa juga terpenuhi hanya dengan berbicara, tetapi berpindah tempat itulah yang lebih utama sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Syarh Muslim, Imam al-Nawawi, 6/170-171).
Demikianlah sedikit ulasan, kenapa kita dianjurkan untuk bergeser tempat ketikah hendak melakukan shalat sunah selepas shalat fardhu. Atau juga bisa menandainya dengan berbicara seperti doa-doa selepas shalat atau bicara biasa kepada teman kita. Makna dari perintah itu adalah untuk memperbanyak tempat sujud yang mana diakhirat nanti (bumi tempat sujud kita itu) akan menceritakan kepada Allah bahwa dirinya (bumi) dijadikan tempat menyembah kepada Sangpencipta. Selain itu kalau dikerjakan di rumah, justru itu lebih baik. Sebab rumah tersebut akan diterangi dan dipenuhi dengan cahaya dan kebahagian. Rahman rohim Allah mengalir di rumah tersebut, halnya di Surga.
*Penulis Ahmad A, Pegiat di Lembaga Kajian Budaya, Agama dan Falsafah (LKB AF).