Kisah Sufi Wanita Rabi’ah al-‘Adawiyah dari Jadi Budak Sampai tidak Menikah
Ibadah.co.id – Rabi’ah binti Isma’il Al-‘Adawiyah. Wanita yang dijuluki Syahidatul ‘Isyqil Ilahi (wanita yang syahid oleh kerinduan ilahi) ini lahir dan meninggal di Basrah, Irak. Banyak versi mengenai tahun lahir dan wafatnya. Yang jelas, sufi wanita ini hidup di abad ke-2 Hijriah. Orang pertama yang mendokumentasikan kisahnya adalah Al Jahizh yang juga orang Basrah dalam kitab Al Bayan wa al Tabyin. Barangkali, Al Jahizh pernah bertemu Rabi’ah.
Salah satu cerita yang dikisahkan Al Jahizh tentang Rabi’ah adalah penolakannya saat ada yang hendak menanggung nafkah hidupnya karena iba melihat keadaannya, Rabi’ah menjawab “Sungguh aku malu untuk meminta harta dunia pada sang pemiliknya (Allah), bagaimana mungkin aku memintanya manusia yang mana bukan pemiliknya”.
Seperti biografi yang ditulis Dr. Rasyid Salim Al Jarrah, Kehidupan pahit Rabi’ah sudah ia jalani sejak masa kecilnya. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil dan ia tak punya apa-apa untuk mencukupi kebutuhannya. Selanjutnya Rabi’ah menjadi seorang budak. Belum ditemukan sumber bagaimana awal mula dan sebab ia menjadi budak. Ia memiliki majikan yang zalim.
Di kemudian hari, majikan tersebut menjualnya pada seorang lelaki yang tak kalah zalim. Suatu malam, majikan barunya ini mendengar suara menggema seisi rumahnya, lalu ia keluar kamar mencari sumber suara, hingga kedua telinganya menuntunnya ke kamar Rabi’ah dan kedua matanya melihat hal yang tak dapat ia cerna dengan akalnya, ia takjub melihat sembah Rabi’ah yang memancarkan iman yang sangat dalam, ia pun terhenti dan mendengarkan munajat yang dipanjatkan Rabi’ah.
Keesokan harinya, ia langsung membebaskan Rabi’ah dari status budaknya. “Engkau kini merdeka dan telah bebas, Rabi’ah. Kau boleh tinggal di sini atau pergi ke mana kau suka” katanya. Rabi’ah pun memilih pergi. Syeh Zabidi dalam Syarh Ihya ‘Ulumuddin pernah menceritakan kisah tentang Sufyan Al Tsauri dan Rabi’ah. Dalam kisahnya, Al Tsauri bertanya perihal hakikat iman Rabi’ah, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka dan menginginkan surga seolah aku menjadi buruh tak patuh; jika takut majikan ia akan bekerja, jika dibayar ia baru akan bekerja. Aku menyembah-Nya karena cinta dan rinduku pada-Nya”.
Salah satu sumber menyebutkan Rabi’ah meninggal pada umur 80 tahun. Seperti yang diceritakan Al Sya’roni dalam Al Thabaqat, setelah memasuki usia 80 tahun, Rabi’ah terlihat usang dan lapuk, ketika berjalan seolah akan terjatuh. Ia sakit hingga tubuhnya habis, setiap orang menangis melihat keadaannya yang demikian. Ketika ada yang menawarkan untuk memperingan sakitnya, ia menjawab “Jika sakit ini kehendak Tuhanku, bgaimana mungkin akan tolak”.
Adapun perihal pernikahan, suatu hari beberapa ulama mengunjunginya, mereka bertanya “Mengapa engkau hidup menyendiri dan tidak menikah?”
Rabi’ah menjawab “Ada tiga hal yang mengusik batinku. Pertama, apakah aku akan meninggal dengan membawa iman yang sempurna? Kedua, apakah kelak di hari kiamat lembaran catatan amalku akan kuterima dengan tangan kanan? Ketiga, aku tak tahu bersama golongan mana kelak aku dikumpulkan di hari kiamat, apakah bersama mereka yang masuk ke surga, atau mereka yang binasa dalam neraka?. Jika aku telah disibukkan dengan hal-hal seperti ini, bagaimana mungkin aku berpikir untuk menikah”.
Wallahu a’lam bishowab.
(Ed.RB)