Take a fresh look at your lifestyle.

- Advertisement -

Momentum Hijrah

0 151

Dalam konteks kekinian, hijrah telah menjadi misi utama kita sebagai umat Islam untuk menjaga hubungan baik dengan negara. Karena itu, jihad berhijrah itu merupakan langkah awal dalam upaya meluruskan pemahaman kelompok Islam esktrem (ghuluw) dan radikal (tasyaddud). Tujuanya adalah untuk kembali pada cara pandang keagamaan yang moderat (wasathiyyah).

Apalagi dalam gramatika bahasa Arab, kata Hijrah diambil dari kata hajara, yahjuru, hajran. Sedangkan, hijrah sendiri yang berbentuk benda (isim) dari kata kerja (fi’il) hajara yang berarti memutuskan hubungan, pindah, dan meninggalkan suatu tempat pindah kepada yang lain. Kata ini juga dapat dimaknai lawan kata (antonim) dari kata al-wasl.

Hijrah pada dasarnya memiliki makna yang esensial berupa transformasi mental individu pada nilai-nilai universalitas kemanusiaan. Nilai-nilai ini selaras dengan apa yang ditegaskan oleh Immanuel Kant, bahwa ruang bebas individu untuk mengikuti kata hati (the pure practical reason, sebagai basis good will-niat baik) yang tidak mungkin bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Seperti toleran, anti-kekerasan, adil, anti eksploitasi, egaliter dan plural.

Situasi ini kerap kali kelompok Islam yang berhijrah menganggap bahwa agama itu bagian dari segala-galanya. Sehingga, doktrin keagamaan ini, Islam sebagai agama yang dikenal rahmatan lil ‘alamin justru sebaliknya. Lebih dikenal sebagai sumber konflik, peperangan, dan terorisme. Faktor hijrah ini tentu diawali dengan asosiasi pemahaman agama dipandang esktrem dan radikal.

Faktanya cukup kuat berdasarkan pengalaman Haris Amir Falah, yang ditulis dalam buku (Hijrah dari Radikal kepada Moderat: 2019, 4-5). Bahwa, banyak persitiwa yang memilukan dan memalukan terjadi akibat paham radikalisme yang melahirkan aksi teror yang jelas-jelas mencederai keindahan Islam dan merusak tatanan nilai-nilai kemanusiaan”.

Dari untaian kata ini, Haris Amir Falah meluruskan tentang istilah hijrah yang sebenarnya. Ada hijrah makaniyah dan juga hijrah maknawiyah. Hijrah makaniyah itu hijrahnya Rasullah Saw dan para sahabat r.a dari Mekah ke Madinah. Sedangkan, hijrah maknawiyah, yaitu hjrah substansial dengan meninggalkan segala perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt.

Artinya, titik temu hijrah tersebut tentu sangat krusial hubungannya dengan peran agama dan negara. Lantas meski masyarakat kita meninggalkan perbuatannya tidak harus kemudian berpikir sempit, menganggap aparatur negara thaghut, dan mengkafir-kafirkan orang lain, termasuk umat Islam sendiri. Cara pandang ekstrem demikian sungguh membuat hubungan persaudaraan kita retak.

Sementara menurut Ahzami Sami’un Jazuli, dalam buku (Hijrah dalam Pandangan al-Qur’an: 2006, 22), mengutip pendapat Ibnu Arabi, hijrah dalam surat an-Nisa tidak hanya bermanfaat di dunia dan akhirat. Namun, tujuan hijrah adalah keluar atau memutus keadaan untuk berpindah dalam rangka untuk menyelamatkan diri dari pemahaman ekstremisme dan radikalisme.

Perubahan cara pandang keagamaan itu salah satu upayanya adalah meninggalkan pemahaman esktrem-radikal atau hijrah dengan bertahap. Di samping itu, kita harus mencoba memahami Islam secara kompleks dan kontekstual. Karena jika hanya dipahami secara tekstual-skriptual ini menunjukkan wawasan keagamaannya sangatlah sempit.

Hijrah Pemikiran

Menurut Haris Amir Falah, dalam buku (Hijrah dari Radikal kepada Moderat: 2019, 72). Bahwa, hijrah yang hakiki dan hijrah substansial yang berupa perpindahan dari hal yang negatif kepada yang positif. Jika sebagian besar kelompok Islam itu bertumbuh negatif dengan eksistensi pemahaman ekstremisme dan radikalisme. Maka, moderatisme dalam Islam haruslah manjadi penyeimbang untuk meningkatkan wawasan keislaman dan kebangsaan masyarakat terkait tentang hubungan Islam dan negara.

Karena itu, berislam itu tidak harus bernegara. Sebab hubungan Islam dan negara suatu hal yang tak terpisahkan untuk saling memainkan peran masing-masing di dalam mengupayakan perubahan peradaban bangsa kita kedepan. Subtansialnya, Islam moderat sebagai misi agama untuk mewujudkan negeri yang damai, dan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Faktanya di tengah masifnya kelompok penyebar paham ekstremisme dan radikalisme kerap kali dikaitkan dengan ketidakadilan pemerintah. Semua orang yang ada di negeri ini seolah-olah thaghut. Sehingga, dengan sikapnya yang demikian mudah menganggap orang lain atau aparat penegak hukum itu kafir. Pola pemikiran agama seperti ini perlu kita luruskan bersama-sama.

Seharusnya kelompok-kelompok Islam radikal menyadari bahwa tindakan pemikiran ekstrem-radikal itu tidak dikenal dalam Islam. Bahkan, Nabi Muhammad pun saat merumuskan piagam Madinah itu menyamaratakan derajat manusia tanpa membeda-bedakan agama, dan sukunya. Sejarah ini tentu menunjukkan keadilan dan kebijaksanaan Nabi kita yang moderat.

Karena kewajiban kita sebagai umat Islam untuk memperkenalkan agama dengan keindahan, kelembutan, kesopanan, kesantunan, dan bijak dalam memahami agama. Jadi, jangan kemudian menjadi hakim pemikiran agama yang gampang menvonis orang lain yang tidak seiman. Apalagi yang seiman, karena Islam sendiri mempromosikan terkait pentingnya menjaga hubungan persaudaraan kemanusiaan (ukhwah basyariyah), hubungan persaudaraan kebangsaan (ukhwah wathoniyah), dan hubungan persaudaraan sesama umat Islam (ukhwah Islamiyah).

Oleh karena itu, konteks di atas sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Haris Amir Falah, dalam buku (Hijrah dari Radikal kepada Moderat: 2019, 86). “Aqidah kami adalah aqidah yang wasathiyah tidak ekstrem kanan maupun kiri, ibadah yang shahihah. Dan menampilkan akhlak yang mulia terhadap sesama manusia sebagai bentuk pengamalan konsep rahmatan lil ‘alamin”.

Dari konteks ini, Islam moderat adalah Islam yang penuh rahmah menyebarkan agama dengan sopan dan santun. Dan menjadikan prinsip persaudaraan kemanusiaan itu memiliki derajat yang sama di mata agama maupun negara. Kalau kita cermati bahwa Islam moderat itu memang solusi yang tepat untuk dijadikan tempat hijrah menuju tenggelamnya pemikiran Islam yang terpapar ekstremisme-radikalisme.

Islam Moderat yang Rahmatan Lil ‘Alamin

Doktrin agama Islam yang dicap sebagai produk terorisme seperti hantu yang sangat menakut-nakuti masyarakat. Islam harusnya membentuk sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Hadis kemanusiaan ini yang dijadikan pijakan untuk menangkal paham ekstremisme, radikalisme, dan terorisme oleh Haris Amir Falah dalam buku (Hijrah dari Radikal kepada Moderat: 2019, 103).

Secara filosofi, bahwa jihad keagamaan yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok Islam radikal itu tidak disertai jihad kemanusiaan. Padahal, keduanya sejalan beriringan dengan baik yang bisa memerangi paham kekerasan yang selalu mengatasnamakan agama tertentu, khususnya Islam. Kini, cukup sering diperalat hanya untuk gerakan politik. Tetapi, bukan gerakan keagamaan dan kemanusiaan.

Bagi Haris Amir Falah sendiri, dakwah anti radikalisme, Islam moderat, dan jihad keagamaan dan kemanusiaan itu adala target saya berhijrah dari radikal menuju moderat agar saya mampu memposisikan diri saya sebagai muslim yang berada pada golongan yang selamat dan mengajak umat Islam lainnya bergabung di barisan yang sama.

Peresensi, Hasin Abdullah (Peneliti Indonesia Jurisprudence Community (IJC), dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Judul Buku        : Hijrah dari Radikal kepada Moderat

Penulis             : Haris Amir Falah

Penerbit            : Milenia (CV. Pustaka Harakatuna)

Tahun Terbit      : 2019

ISBN                : 978-623-91648-1-2

Tebal                : X + 201 Halaman

Kota                 : Jakarta

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy