NU dan Kebangkitan Ekonomi Umat
Ibadah.co.id – Dua tahun lagi Nahdlatul Ulama (NU) berusia satu abad menurut ukuran tahun Hijriyah. Pada 16 Rajab 1442 H yang bertepatan dengan 26 Februari 2021 ini NU secara resmi memasuki usia 98 tahun.
Berkat usaha semua pihak, NU pada abad pertama ini berhasil menjadi organisasi keagamaan yang dihargai dan dihormati, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Ada banyak saudara Muslim kita di berbagai negara yang tertarik untuk menduplikasi praktik keberagamaan model NU ini.
Jalan yang telah NU rambah pada abad pertama ini insya Allah akan makin lebar dan luas pada masa depan. Tantangan besar NU pada abad kedua ini adalah bagaimana memperkuat jamaah NU dari aspek ketahanan ekonomi. Dengan memiliki jumlah anggota paling banyak di Indonesia, NU menjadi salah satu kunci penting ekonomi Indonesia ke depan.
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah sebelum mendirikan NU sudah mendirikan Nahdlatut Tujjar (NT) pada 1918. Lembaga ini berfokus pada pengembangan ekonomi umat, terkhusus dimaksudkan untuk membantu dakwah para kiai dan ustadz.
Menurut penelitian Jarkom Fatwa (2004), di antara maksud pendirian NT adalah karena masyarakat Muslim cenderung tajarrud (sikap mengisolasi) dan enggan mencari nafkah. Padahal, mereka sendiri masih kekurangan.
Kedua, masyarakat cenderung kurang peduli pada urusan sosial ekonomi. Kedua hal ini mesti diatasi oleh kiai dan ustadz. Namun, agar nasihat dan ajaran mereka didengar masyarakat, mereka mesti berkecukupan secara ekonomi.
Dengan ekonomi yang kuat, mereka bisa melakukan dakwah dengan tenang karena tidak perlu diributkan dengan persoalan dapur. Dari sinilah kemudian Nahdlatut Tujjar mendirikan Syirkatul Inan (badan usaha) dalam bidang ekonomi.
Nahdlatut Tujjar lahir sebagai ekspresi para ulama di tiga jalur strategis Jawa Timur saat itu, yaitu Surabaya, Kediri, dan Jombang yang didorong oleh semangat para ulama yang belum banyak terlibat dalam upaya pemberdayaan rakyat. Sementara, kemiskinan dan kemaksiatan sudah memprihatinkan kala itu dan kolonialisme Belanda sudah begitu parah dampaknya terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat, khususnya dalam aktivitas perekonomian dan perdagangan masyarakat. Akar sejarah ini menunjukkan betapa NU sangat memperhatikan aspek ekonomi.
Kemiskinan, ketimpangan, dan kesenjangan serta ketertinggalan masih menjadi tantangan dan persoalan perekonomian umat. Persoalan tersebut dapat menjadi bom waktu apabila tidak ditangani dengan baik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan penduduk Indonesia pada September 2019 sebesar 9,22 persen atau setara dengan 24,79 juta orang, jumlah tersebut bisa lebih besar apabila melihat dampak pandemi Covid-19. Gini index yang semakin lebar, penguasaan lahan yang semakin timpang, dan berbagai persoalan ekonomi lainnya.
Karena itu, peran dan transformasi NU dalam kebangkitan ekonomi umat sangat perlu ditingkatkan dan diperkuat ke depan. Menjelang usia NU yang ke-100 tahun merupakan momentum terbaik untuk memfokuskan upaya-upaya dalam mewujudkan kebangkitan dan kemandirian ekonomi umat atas pesatnya globalisasi dan liberalisasi perekonomian. Dengan demikian, hal itu berdampak pada perekonomian masyarakat kecil di perdesaan yang merupakan basis warga NU. Dengan ekonomi umat yang kokoh, umat bersama NU dapat berperan sebagai elemen bangsa yang mampu berfungsi dan berkolaborasi dengan pemerintah secara maksimal.
NU Fokus Mewujudkan Kebangkitan dan Kemandirian Ekonomi Bersama Umat.
Langkah Strategi
Adapun langkah kebangkitan yang dapat ditempuh sebagai berikut. Pertama, memetakan potensi ekonomi warga NU. Aspek ini menjadi penting dan utama untuk menjadi bahan keputusan akan merambah bidang ekonomi yang mana untuk dijadikan gerakan bersama.
Pada awal-awal pendirian NT, Hadratussyaikh dan KH Wahab memilih pertanian dibanding perdagangan. Pilihan ini tentu karena melihat sebagian besar warga NU saat itu adalah petani. Ini contoh pemetaan paling sederhana, mendasar, dan tepat.
Saat ini, profesi warga NU beragam. Bukan hanya menjadi petani atau pedagang, melainkan juga banyak yang berkiprah di dunia profesional. Untuk mendapatkan pemetaan akurat mengenai potensi ekonomi jamaah NU, menggerakkan anak-anak muda NU yang berkecimpung dalam dunia teknologi dan informasi (IT) adalah kemestian.
Ini bisa menjadi bagian dari NU memanggil warganya yang muda-muda untuk berkontribusi kepada NU. Mereka tentu akan dengan senang hati dimintai bantuan oleh orang tua mereka. Dengan adanya pemetaan ini, bukan tidak mungkin akan lahir berbagai inovasi dalam bidang ekonomi warga NU.
Ini adalah era 4.0, era di mana data menjadi panglima. Data is the new oil. Untuk mendapatkan pemetaan yang akurat, itu berdasarkan data yang juga akurat. Untuk lebih memudahkan koordinasi, ada baiknya dibuat satu data yang bisa diakses bersama.
Kedua adalah membangun dan meningkatkan potensi koperasi warga NU. Sistem ini paling tepat untuk digunakan untuk kebangkitan ekonomi warga NU karena jalan ini digunakan pula oleh Hadratussyaikh dan KH Wahab untuk menjadi wahana saling tolong antaranggota NT. Hal ini pula sesuai dengan gagasan Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia.
Menurut Hatta, rahasia daripada koperasi terletak pada kemauan bekerja sama untuk memperbaiki keadaan ekonomi bersama. Dasar kerja sama ini ialah self-help dan setia kawan (Hatta, 1983).
Pembangunan koperasi ini bisa diinisiasi di tingkat pengurus ranting atau bahkan di tingkat cabang. Dengan memiliki data, semua koperasi yang berdiri bisa saling terhubung. Bila ada koperasi yang dinilai sukses, bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman teknisnya pada koperasi lainnya.
Jika pada 1918 NT didirikan karena ada kecenderungan kaum Muslim yang menutup diri dan kurang inklusif, dengan adanya koperasi ini akan tercipta tiga hal, yang juga sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Pertama, dakwah Islam moderat ala NU bisa berjalan dengan baik karena urusan ekonomi sudah selesai. Dakwah Islam wasathiyah bisa semakin membumi di Indonesia ini dan semakin meluas ke luar negeri.
Kedua, merekatkan aspek sosial umat Islam dan pada gilirannya akan melahirkan harmoni secara nasional. Sebagai organisasi keagamaan terbesar, maka dengan keberhasilan aspek ekonomi dan peningkatan kerekatan sosial ini secara tidak langsung berarti juga meningkatkan ekonomi bangsa dan melahirkan harmoni di tingkat nasional.
Ketiga, tentunya langkah dan strategi di atas harus ditopang dengan moralitas serta akhlak yang penuh integritas yang mencerminkan empat sifat nabi dalam setiap aktivitas jaringan, yaitu siddiq (berlaku jujur), tabligh (menyampaikan), amanah (dapat dipercaya) dan fathonah (profesional). Dengan berpegang pada empat sifat itu dan dibarengi dengan strategi-strategi di atas, kemiskinan, ketimpangan berkurang, bahkan hilang seiring dengan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat sehingga dapat kembali mengangkat derajat umat Islam pada posisi yang mandiri dan kuat.
*Tulisan ini pernah diposting di Republika pada Maret 2021
Penulis: Babay Parid Wazdi, Direktur Kredit UMK & Usaha Syariah Bank BPD DKI Jakarta, Simpatisan & Pengamat Ekonomi Muhammadiyah dan NU
[…] Baca Juga : NU dan Kebangkitan Ekonomi Umat […]
[…] Source link […]