Wudhu dalam Kitab Daras Pesantren
ibadah.co.id -Dalam tradisi pesantren Nusantara, ada beberapa kitab yang menjadi standar pokok atau daras (Belajar (mempelajari, menyelidiki) dengan sungguh-sungguh, KBBI) yang wajib dikuasai para santri sebelum beranjak kepada kitab lainnya. Biasanya kitab-kitab daras itu sangat tipis-tipis sekali halamannya, karena asli berupa matan (naskah asli atau inti, KBBI). Setelah matan dikuasai dengan baik, boleh melanjut ke syarah (keterangan; uraian; ulasan; penjelasan, KBBI) dan Hasyiah (penjelasan lebih lanjut dari Syarah) .
Dalam setiap bidang keilmuan, tentu ada kitab pokok-pokok tersebut. Dalam fikih misalnya, terdapat kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib (Kitab Taqrib) karya Syihabuddin Abu Syujak Al-Ashfahani, Safinatun Najah karya Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, dan kitab-kitab matan lainnya. Kitab-kitab ini dikenal dengan padat, lugas, dan mudah dipahami. Misalnya bicara soal wudhu, di mana yang saat ini penulis fokuskan, sangatlah mudah dipahami. Bukan hanya bagi para santri, tapi juga bagi masyarakat awwam yang tak mengenal baca dan tulis sekalipun.
Wudhu, sebagai syarat sahnya shalat sudah barang tentu menjadi wajib dikerjakan bagi Anda yang hendak shalat. Wudhu hanya dimaksudkan untuk menghilangkan hadas kecil saja, tidak yang lain. Kentut salah satu yang membatalkan wudhu, maka dengan wudhu Anda menjadi suci lagi. Sedangkan tayamum bukanlah sebagai penghilang hadas kecil tadi, melainkan hanya sebatas untuk diperbolehkannya shalat karena tidak ada air atau sebab lainnya yang membahayakan diri.
Wudhu dalam Kitab Mazhab Syafi’i.
Halnya ritual atau ibadah lainnya, wudhu juga mempunyai beberapa rukun atau kefardhu’an yang mesti dilakukan agar ibadah itu dikatakan sah atau diterima oleh Sang Pemberi Kewajiban. Dalam fikih Madzhab Syafi’i, seperti tertuang dalam Safinatun Najâ menegaskan bahwa Fardhu wudhu ada enam: (1) niat, (2) membasuh muka, (3) membasuh kedua tangan beserta kedua siku, (4) mengusap sebagian kepala, (5) membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki, dan (6) tertib.
Syekh Nawawi al-Bantani memberikan penjelasan lebih rinci terhadap keenam hal itu dalam kitab Kasyifatus Saja sebagai berikut:
Pertama, Niat. Dalam wudhu, niat harus dilakukan secara berbarengan (bersamaan) pada saat pertama kali membasuh muka, baik yang pertama kali dibasuh itu bagian atas, tengah maupun bawah.
Bila orang yang berwudhu tidak memiliki suatu penyakit maka ia bisa berniat dengan salah satu dari tiga niat berikut: 1) Berniat menghilangkan hadas, bersuci dari hadas, atau bersuci untuk melakukan shalat. 2) Berniat untuk diperbolehkannya melakukan shalat atau ibadah lain yang tidak bisa dilakukan kecuali dalam keadaan suci. 3) Berniat melakukan fardhu wudhu saja, meskipun yang berwudhu seorang anak kecil atau orang yang memperbarui wudhunya.
Orang yang dalam keadaan darurat seperti memiliki penyakit anyang-anyangan atau beser baginya tidak cukup berwudhu dengan niat menghilangkan hadas atau bersuci dari hadas. Melainkan bagi orang ini wudhu yang dilakukannya berfungsi untuk membolehkan dilakukannya shalat, bukan berfungsi untuk menghilangkan hadas.
Sedangkan orang yang memperbarui wudhunya tidak diperkenankan berwudhu dengan niat menghilangkan hadas, diperbolehkan melakukan shalat, atau bersuci dari hadas. Melainkan untuk memantapkan wudhu yang sebelumnya.
Kedua, Membasuh Muka. Untuk karakteristik muka, panjangnya antara tempat tumbuhnya rambut bagian atas sampai dengan bawah ujung kedua rahangnya. Lebarnya antara kedua telinganya. Termasuk muka adalah berbagai rambut yang tumbuh di dalamnya seperti alis, bulu mata, kumis, jenggot, dan godek. Rambut-rambut tersebut wajib dibasuh bagian luar dan dalamnya beserta kulit yang berada di bawahnya meskipun rambut tersebut tebal, karena termasuk bagian dari wajah. tetapi tidak wajib membasuh bagian dalam rambut yang tebal bila rambut tersebut keluar dari wilayah muka.
Ketiga. Membasuh Kedua Tangan Beserta Kedua Sikunya. Dianggap sebagai siku bila wujudnya ada meskipun di tempat yang tidak biasanya seperti bila tempat kedua siku tersebut bersambung dengan pundak. Hal ini dikatakan dalam dalil wajibnya wudhu : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlan wajahmu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai mata kaki…” (QS Al-Ma’idah [5]:6).
Pada ayat tersebut menggunakan kata “ila” (sampai ke), yang berarti juga “ma’a” (bersama), sehingga siku dan mata kaki sebagai bagian yang wajib dibasuh.
Keempat, Mengusap Sebagian Kecil Kepala. Mengusap sebagian kecil kepala ini bisa hanya dengan sekadar mengusap sebagian rambut saja, dengan catatan rambut yang diusap tidak melebihi batas anggota badan yang disebut kepala. Kalau seorang perempuan yang rambut belakangnya panjang sampai sepunggung tidak bisa hanya mengusap ujung rambut tersebut karena sudah berada di luar batas wilayah kepala. Dianggap cukup bila dalam mengusap kepala ini dengan cara membasuhnya, meneteskan air, atau meletakkan tangan yang basah di atas kepala tanpa menjalankannya.
Kelima, Membasuh Kedua Kaki Beserta Kedua Mata Kaki. Ini menegaskan yang dibasuh itu bagian telapak kaki beserta kedua mata kakinya. Tidak harus membasuh sampai ke betis atau lutut. Diwajibkan pula membasuh apa-apa yang ada pada anggota badan ini seperti rambut dan lainnya. Orang yang dipotong telapak kakinya maka wajib membasuh bagian yang tersisa. Sedangkan bila bagian yang dipotong di atas mata kaki maka tidak ada kewajiban membasuh baginya namun disunahkan membasuh anggota badan yang tersisa.
Keenam, Tertib. Yang dimaksud dengan tertib di sini adalah melakukan kegiatan wudhu tersebut secara berurutan sebagaimana disebut di atas, yakni dimulai dengan membasuh muka, membasuh kedua tangan beserta kedua siku, mengusap sebagian kecil kepala, dan diakhiri dengan membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki.
Hal yang Membatalkan Wudhu
Bila beberapa hal ini terjadi pada seorang yang mempunyai wudhu, maka wudhunya batal.
Pertama, keluarnya sesuatu dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur). Apa pun yang keluar dari lubang depan (qubul) dan lubang belakang (dubur) baik berupa air kencing atau kotoran, barang yang suci ataupun najis, kering atau basah, itu semua dapat membatalkan wudhu.
Kedua, hilangnya akal karena tidur, gila, atau lainnya. Hanya saja tidur dengan posisi duduk dengan menetapkan pantatnya pada tempat duduknya tidak membatalkan wudhu. Maka posisi tidur dengan duduk seperti itulah yang tidak membatalkan wudhu.
Tiga, bersentuhan kulit seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sama-sama dewasa dan bukan mahramnya dengan tanpa penghalang. Termasuk denagan suami istri, karena bukan mahramnya. Perempuan disebut sebagai mahramnya seorang laki-laki apabila ia tak bisa dinikahi lelaki itu.
Keempat, menyentuh kelamin atau lubang dubur manusia dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jari jemari. Wudhu menjadi batal dengan menyentuh kelamin atau lubang dubur manusia, baik yang disentuh masih hidup ataupun sudah mati, milik sendiri atau orang lain, anak kecil atau besar, menyentuhnya secara sengaja atau tidak sengaja. Bahkan kelamin yang disentuh itu telah terputus juga bisa batal wudhunya.
Itulah terkait wudhu; rukun atau fardhu dan yang membatalkan wudhu dalam kitab tradisi pesantren. Kitab yang hingga kini terus dipakai dalam daras santri dan umat Islam secara umum. Semoga tulisan yang padat dari kitab yang ringkas ini bisa dipahami dengan baik dan membawa ibadah kita diterima Allah Swt. (Disarikan dari pelbagai sumber)