Berpotensi Hambat Pertumbuhan Industri Halal dan Mendelegitimasi MUI, IHW Ajukan Judicial Review Atas PP No.31 Tahun 2019
Ibadah.co.id – Indonesia Halal Watch (IHW), sebagai lembaga yang concern melakukan edukasi, advokasi, dan sosialisasi mengenai serba-serbi halal mulai dari hulu ke hilir, melihat dengan cermat isi Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, ternyata ada beberapa alinea yang diduga dan berpotensi akan menghambat bagi perkembangan dunia industri halal dan juga mendelegitimasi (meniadakan atau mengangkangi) kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah Abdullah menjelaskan bahwa Judicial Review (uji materi) dilakukan dengan mempertimbangkan pada 5 alasan berikut:
“Pertama, PP ini berpotensi membebani masyarakat khususnya dunia usaha. Mandatory sertifikat halal berpotensi membebani UKM, oleh karena itu seharusnya Negara mensubsidi sertifikasi halal bagi UKM. Tidak dibebankan pada pihak-pihak lain sebagai tersirat dalam Pasal 62 dan Pasal 63 PP JPH,” kata Ikhsan di Jakarta, (23/5/2019).
Ikhsan menegaskan, mestinya mandatory sertifikasi halal itu dilaksanakan dengan baik oleh negara. Bukan malah menjadikan industri ukm sebagai pendapatan negara melalui pungutan pengurusan sertifikasi halal. Itu tidak sesuai dengan semangat lahirnya UU JPH tersebut.
Alasan kedua adalah PP ini mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI sebagai stakeholder yang diamanatkan UU JPH yakni sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk menetapkan kehalalan produk.
Ketiga, adanya pertentangan antara pasal 22 ayat (2) PP No 31/2019 dengan pasal 14 ayat (2) huruf f UU JPH.
“Di sana dijelaskan bahwa pendidikan dan pelatihan auditor itu diserahkan peneyelenggaraannya kepada BPJPH, padahal dalam UU JPH pasal 14 ayat 2 huruf f dikatakan pengangkatan dan persyaratan auditor halal itu ditentukan atau setidaknya memenuhi persyaratan dari MUI,” ujar Ikhsan di sela-sela acara Buka Bersama Media dan Mitra IHW di Jakarta, (23/05).
Alasan keempat, ketentuan mengenai kerjasama Internasional sebagaimana yang diatur pada pasal 25 pada PP ini tidak melibatkan kewenangan MUI yang berkaitan dengan pengakuan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi luar negeri, maka berpotensi memudahkan masuknya produk impor dari luar negeri.
Pasar Indonesia akan dibanjiri oleh produk-produk impor karena pengakuan sertifikasi produk asing tersebut tidak berdasarkan standard kehalalan Majelis Ulama Indonesia, padahal di dalam UU JPH telah jelas diatur bahwa menetapkan kehalalan produk itu adalah kewenangan MUI. Peran dan fungsi fatwa MUI diantaranya adalah mencegah masuknya barang-barang asing yang tidak jelas kehalalannya.
“Padahal sertifikasi halal, yang mengatakan produk halal atau haram itu adalah kewenangan MUI. Makanya PP itu jelas melanggar Undang-Undang JPH,” tegasnya.
Ikhsan memaparkan, PP No 31 Tahun 2019 harus sesuai UU agar produk – produk yang tidak jelas kehalalannya tidak dengan mudah masuk Indonesia. Karena dengan diubahnya PP tersebut maka akan menghambat lajunya barang asing masuk ke Indonesia karena ada regulasi yang mengaturnya. Sehingga masyakarat Indonesia juga tidak dirugikan dengan masuknya produk – produk asing ke Indonesia.
“Itu kan tujuan undang-undang dalam rangka untuk meningkatkan produk halal dan industrial di Indonesia. Tapi adanya PP ini maka akan mengizinkan produk tanpa sertifikasi sehingga ke depan Indonesia akan dibanjiri produk-produk yang tidak jelas kehalalannya,” tandasnya.
Alasan kelima, jiwa dari PP ini pada intinya mengambil kewenangan stakeholder yang lain dan bukan membangun semangat kerjasama sehingga akan berdampak buruk bagi pertumbuhan produk halal dan industri halal di Indonesia.
“Maka IHW mengajuka uji materi tertanggal 23 Mei bertujuan agar UU JPH itu berjalan sebagaimana yang diharapkan kita semua. Industri halal maju, Indonesia maju,” harap Ikhsan. (ed. AS/ibadah.co.id)