Ibadah.co.id-Demi menjaga keamanan dan stabilitas negara, Kementerian Agama beberapa minggu lalu telah kelurkan keputusan pembatalan Ibadah Haji tahun ini. Keputusan diambil berdasarkan pertimbangan ancaman wabah Covid-19 yang belum tuntas. Terkait hal itu, Akademisi UNUSIA, Ahmad Fairozi ungkap risalah pelarangan Ibadah Haji oleh Nahdlatul Ulama di masa kolonial.
Fairozi menjelaskan, bahwa pada gencar-gencarnya penjajahan di Nusantara, Nahdlatul Ulama pernah melarang masyarakat untuk melakukan ibadah haji. “Dahulu pada masa penjajahan, saat pemerintah kita belum punya kapal transportasi dari Nusantara ke Arab Saudi, perjalanan ke Mekah sangatlah sulit. Perjalanannaya saja membutuhkan waktu berbulan-bulan” ungkap akademisi Universitas Nahdlatul Ulama itu.
“Pada masa penjajahan itu, negara kita belum berdaulat. Segala akses ke luar mesti melalui transportasi seadanya yang disediakan Belanda. Termasuk untuk menunaikan ibadah haji juga berhubungan dengan kebijakan Belanda. Di saat-saat itu, masyarakat kita ditarik ongkos yang sangat mahal untuk pergi ke Arab Saudi. Besarnya biaya, ongkos yang ditarik oleh penjajah sangatlah tidak pantas bila dibandingkan dengan kondisi perekonomian bangsa kita. Maka demi pertimbangan kesulitan akses dan hanya menguntungkan Belanda, Jam’iyah NU melarang masyarakat untuk memaksakan diri naik haji,” sambungnya.
Pihaknya mengungkapkan risalah ini tercatat rapi dalam buku Abdul Mun’im DZ, Fragmen Sejarah NU (2017). Dalam bukunya Abdul Mun’im menuturkan bahwa kala itu, gejolak revolusi menyebabkan umat Islam risau karena perjalanan haji terhenti. Haji tidak bisa diselenggarakan karena faktor keamanan.
Kondisi yang menjempit ini dimanfaatkan oleh Gubernur Hindia-Belanda, Van der Plaas mengambil tindakan untuk menolong umat Islam. “Belanda mengumumkan bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji disediakan fasilitas selengkapnya dan dijamin keamanannya. Artinya masyarakat akan difasilasi menunaikan ibadah haji dengan bayaran yang mahal,” lugas akademisi UNUSIA itu.
Tawaran Kolonial Belanda itu menggoda umat Islam yang kebetulan selama beberapa tahun dalam gelora revolusi itu perjalanan ibadah haji terganggu, saat ini Belanda menjamin fasilitas untuk mereka, maka banyak yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji.
Menurut Fairozi, tawaran Belanda ini mengandung bias politik. Dimana Belanda akan mengambil keuntungan yang besar dari upah perjalanan ini. Dan juga Belanfa menginginkan masyarakar Nusantara kita ini keluar dari negaranya sendiri untuk kemudian dikuasai Asing. “Berdasarkan perimbangan ini Rais Akbar NU, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari justru mengeluarkan fatwa bahwa melakukan ibadah haji saat ini hukumnya tidak sah. Ibadah haji memang sebuah kewajiban bila syarat rukunnya terlengkapi,” lanjut kandidat Magister itu.
Sementara pada saat itu Indonesia dalam keadaan perang, kapal sebagai sarana transportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu bila pergi haji naik kapal milik orang Belanda (yang dianggap kafir), maka hajinya tidak sah.
Fatwa itu membuat umat Islam tertegun, tetapi bagaimana pun dengan hujjah-nya yang kuat dan sesuai nalar, maka seberat apapun fatwa itu mesti ditaati, umat Islam banyak yang membatalkan perjalanan hajinya. Tentu saja hal itu membuat Belanda geram. Usahanya gagal dalam mempengaruhi hati umat Islam agar tidak memihak pada republik pimpinan Soekarno-Hatta.
Jauh sebelum era revolusi, yaitu pada 1824-1859, Hindia Belanda justru melakukan pengetatan pemberangkatan haji. Kolonial menilai bahwa haji menjadi ancaman eksistensi kolonial di Indonesia. Makna politis ibadah haji baru dirasakan secara serius tatkala negara Hindia Belanda berdiri sebagai penerus kekuasaan VOC. Mereka menganggap, seseorang yang pulang dari ibadah haji mempunyai potensi menggerakkan rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap kolonial.
Segala upaya dilakukan oleh Hindia Belanda, dari mulai pengetatan pemberangkatan dan aturan-aturan lain setelah pulang dari tanah suci. Kekhawatiran pemerintah kolonial tercermin dalam Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji.
Beberapa dekade kemudian, pada tahun 1859, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan haji. Meski lebih longgar dari aturan sebelumnya, di sana-sini masih ada berbagai pengetatan.
Yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).
“Berdasarkan riwayat ini saya berharap masyarakat Indonesia bisa memahami kondisi keselamatan yang menjadi pertimbangan Kemanag dalam pelarangan Ibadah Haji tahun ini. Kita dapat bandingkan dengan fatwa KH Hasyim Asy’ari yang melarang haji tersebut,’ pungkas Fairozi. (RB)