Menepis Kepercayaan Waktu Sial di Bulan Safar
Ibadah.co.id – Sekarang kita telah masuk bulan ke-2 dari kalender Hijriyah, yaitu bulan Safar yang memiliki arti kosong. Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat At-Taubah ayat 36 اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا yang membicarakan tentang bilangan bulan dalam satu tahun, menjelaskan bawah nama shafar terkait dengan aktivitas masyarakat Arab terdahulu. Shafar berarti kosong. Dinamakan demikian karena di bulan tersebut masyarakat kala itu berbondong-bondong keluar mengosongkan daerahnya, baik untuk berperang ataupun menjadi musafir. Sifr (Bahasa Arab) itu artinya Nol.
Pada bulan safar di zaman jahiliah, berkembang anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan sial atau dikenal dengan istilah tasyâ-um. Bulan yang tidak memiliki kehendak apa-apa ini diyakini mengandung keburukan-keburukan sehingga ada ketakutan bagi mereka untuk melakukan hal-hal tertentu. Pikiran semacam ini juga masih menjalar di zaman sekarang. Sebagian orang menganggap bahwa hari-hari tertentu membawa hoki alias keberuntungan, sementara hari-hari lainnya mengandung sebalilknya yaitu sial.
Padahal, seperti bulan-bulan lainnya, bulan Safar itu netral dari kesialan atau ketentuan nasib buruk. Jika pun ada kejadian buruk di dalamnya, maka itu semata-mata karena faktor lain, bukan karena bulan Safar itu sendiri.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ
Artinya: Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa. (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis ini dijelaskan oleh ulama:
‘Adwa adalah keyakinan tentang adanya wabah penyakit yang menular dengan sendirinya, tanpa sebuah proses sebelumnya dan tanpa seizin Allah. Seperti covid itu menyebar atas izin Allah, dan pasti ada hikmahnya.
Thiyarah adalah keyakinan tentang nasib baik dan buruk setelah melihat burung. Dalam masyarakat jahiliah ada mitos yang mengatakan, bila seorang keluar rumah dan menyaksikan burung terbang di sebelah kanannya, maka tanda nasib mujur bakal datang. Sementara bila melihat burung terbang di sebelah kirinya maka tanda kesialan akan tiba sehingga sebaiknya pulang. Banyak suudzonnya
Sedangkan Hamah (Burung) adalah semacam anggapan bahwa ketika terdapat burung hantu hinggap di atas rumah maka pertanda nasib sial akan tiba kepada pemilik rumah tersebut. Tak beda jauh dengan Shafar yang diyakini sebagai waktu khusus yang bisa mendatangkan malapetaka.
Hadirin yang Berbahagia
Islam tidak mengenal hari, bulan, atau tahun sial, itu tidak ada. Sebagaimana seluruh keberadaan di alam raya ini, waktu adalah makhluk Allah. Waktu tidak bisa berdiri sendiri. Ia berada dalam kekuasaan dan kendali penuh Rabb-nya. Setiap umat Islam wajib berkeyakinan bahwa pengaruh baik maupun buruk tidak ada tanpa seizin Allah SWT. Begitu juga dengan bulan Safar. Ia adalah bagian dari dua belas bulan dalam satu tahun hijriah. Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Qamariyah, terletak sesudah Muharram dan sebelum bulan Rabiul Awwal.
Rasulullah sendiri menampik anggapan negatif masyarakat jahiliah tentang bulan Safar dengan sejumlah praktik positif. Syeh Habib Abu Bakar al-‘Adni dalam kitab Mandhûmah Syarh al-Atsar fî Mâ Warada ‘an Syahri Shafar memaparkan bahwa beberapa peristiwa penting yang dialami oleh Nabi terjadi pada bulan Safar.
Di antaranya pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah, menikahkah putrinya Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, hingga mulai berhijrah dari Makkah ke Madinah. Artinya, Rasulullah membantah keyakinan masyarakat jahiliah bukan hanya dengan argumentasi tapi juga pembuktian bagi diri beliau sendiri. Dengan melaksanakan hal-hal sakral dan penting di bulan Safar, Nabi seolah berpesan bahwa bulan Safar tidak berbeda dari bulan-bulan lainnya.
Jamaah Rahimakumullah
Lagi-lagi ini adalah perkara aqidah. Kita manusia diperintahkan untuk senantiasa melakukan proses-proses dan tahapan-tahapan yang wajar. Islam adalah agama yang sangat menghargai fungsi akal sehat. Karena itu, tiap pekerjaan amat dianjurkan melalui satu perencanaan yang matang dan ikhtiar yang maksimal. Selebihnya adalah doa dan kepasrahan total kepada Allah.
Masalah sial atau beruntung merupakan kelanjutan dari proses dan tahap tersebut, bukan pada mitos-mitos khayal yang tak masuk akal. Seperti gini: untuk terbebas dari penyakit, manusia diperintahkan untuk hidup bersih dan menghindari pengidap penyakit menular. Agar selamat dari bangkrut, pedagang disarankan untuk membuat perhitungan yang teliti dan hati-hati. Agar lulus ujian, pelajar mesti melewati belajar secara serius. Dan seterusnya.
Menolak adanya “bulan sial” dan “bulan beruntung” akan mengantarkan kita menjadi pribadi yang wajar. Tidak malas ikhtiar karena merasa hari-harinya pasti diliputi keberuntungan. Juga tidak dicekam kecemasan karena dihantui hari-hari penuh sial. Sebagai hamba, manusia didorong untuk berencana, berjuang, dan berdoa; sementara ketentuan hasil dipasrahkan kepada Allah.
Dengan demikian, saat menuai hasil, kita tetap bersyukur; dan tatkala mengalami kegagalan, kita tidak lantas putus asa. Kemudaratan dan kesialan dapat menimpa kita kapan saja, tidak mesti pada bulan-bulan tertentu. Dari sinilah kita diharapkan untuk selalu menjaga diri, melakukan usaha-usaha pencegahan, termasuk dengan doa memohon perlindungan kepada Allah setiap hari. Doa yang bisa dibaca adalah:
بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: Dengan menyebut nama Allah yang bersama nama-Nya tidak akan ada sesuatu di bumi dan di langit yang sanggup mendatangkan mudarat. Dialah Maha-mendengar lagi Maha-mengetahui.
Barang siapa yang membaca doa tersebut pagi dan sore, maka ia tidak akan menerima akibat buruk dari malapetaka. Keterangan tentang doa ini bisa ditemukan dalam hadits riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
Intinya kita hidup di dunia suruh Ibadah. di bulan apa saja harus ibadah. mahdoh – ghiro mahdoh. Kerja ibadah. Dan perbaiki aqidah. Karna mengharapkan sesuatu bukan kepada Allah itu aqidahnya perlu dipertanyakan.