Take a fresh look at your lifestyle.

Kuburan, Ziarah dan Syirik

0 93

Ibadah.co.id – Dunia sudah memasuki milenium ketiga dan era modern sudah terlewatkan karena kini sudah masuk post modernisme, meski era ini arahnya semakin ke spiritualitas manusia. Saya ingin tengahkan pemikiran Alvin Toffler kaitannya dengan era post modernisme, ia bicara jauh sebelum abad 21, kira-kira era 1990-an. Toffler bilang ” would be evidently perceived in at least three significant parts in modern society: rapid urbanization, human’s consumption of energy and the acceleration of economic growth. Knowledge therefore, is the fuel for change, whereas technology is its engine. The pace of changes that resulted from knowledge and technology has created ” (Toffler 1981: 1).

Pemikirannya ini mendekati fakta, bahwa ruang perubahan itu kini dihasilkan dari pengetahuan dan teknologi yang dibuat. Artinya meski sudah melewati era modern, tetap post modernisme akan selalu bertahan pada kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan semakin cepat perkembangannya. Jika tidak mampu mengendalikan akan ditinggalkan oleh kecepatannya ( sprung ) yang tengah mengisi ruang dan waktunya post modernisme.

Di Kita ini masih bicara kuburan, masih mendebatkan ziarah, masih menanyakan syirik atau bukan syirik, dan selalu berdebat dalam stagnasi soal bid’ah dan khurafat. Pandangan bagaimana mengisi ruang dan waktu era post modernisme masih sangat diabaikan. Gejala puritanisme dari saudara kita seagama mengarah pada kebekuan sikap dan visi. Kita yang ingin melangkah lebih jauh, bahkan mau melangkah cepat, namun dihadang oleh persoalan paham keagamaan yang belum selesai.

Manusia post modernisme itu saya lihat cenderung mengarah pada pemenuhan kebutuhan spiritual, bukan pada pandangan teks-teks agama yang disajikan dengan tanpa dasar ilmu tersebut. Saya lihat manusia post modernisme tidak akan puas ketika ayat-ayat yang disampaikan sudah tidak rasional lagi, atau kering makna.

Soal kuburan, ini masih saja diperdebatkan dan masuk ruang penghinaan, pelecehan atas nama paham aliran. Orang yang punya paham bahwa kuburan adalah finalnya manusia hidup di dunia, dan kuburan adalah tempat peristirahatan terakhirnya, definisi tersebut masih normatif, tidak lalu untuk diperdebatkan pada sisi status hukumnya.

Baru kemudian ada persoalan ketika kuburan bisa jadi tujuan penghambaan, atau kuburan menjadi objek mafsadat, maka tindakan dialogis dan komprehensif perlu dilakukan, tetapi jika kuburan sebagai pengingat kematian, sebagai pendalaman atas keberkahan ( tambahnya kebaikan), itu sah-sah saja jika sekedar itu.

Justru akan semakin merusak dan memancing kerusakan sistem nilai manusia ketika kuburan tempat terakhir manusia di hinakan oleh pembongkaran dan penggusuran tanpa alasan kuat.

Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Naja menyebutkan 4 (empat) hal yang bisa menjadi alasan sebuah kubur boleh dibuka lagi. Dalam kitab tersebut beliau menuturkan:

ينبش الميت لأربع خصال: للغسل إذا لم يتغير ولتوجيهه إلى القبلة وللمال اذا دفن معه وللمرأة اذا دفن جنينها معها وأمكنت حياته

Artinya: “Mayit yang telah dikubur boleh digali kembali dengan empat alasan: untuk memandikannya bila kondisinya masih belum berubah, untuk menghadapkannya ke arah kiblat, karena adanya harta yang ikut terkubur bersamanya, dan bila si mayat seorang perempuan yang di dalam perutnya terdapat janin yang dimungkinkan hidup ( Safînatun Naja, hal. 53).

Jika tidak ada alasan-alasan yang kuat maka membongkar kuburan itu tindakan zalim ( dholim ) dan itu artinya haram dilakukan oleh siapapun dan atas nama apapun.

Ziarah, ini santer dibicarakan ulang oleh kelompok fundamentalis agama ( Wahabi ) melalui ceramahnya yang agitatif dan provokatif dengan memastikan bahwa itu perbuatan syirik dan dosa besar. Yang padahal ziarah itu menguatkan simpul pertalian nasab dari leluhur ke keturunannya, dalam perspektif agama-agama tentu berbeda, tapi yang paling dipahami secara sederhana adalah ziarah itu menengok asal usul kita sebagai refleksi bahwa kita akan sama kembali kepada ketiadaan, dari tiada, lalu ada, kemudian tiada.

Dalam hadits yang diriwayatkan Sayyidah ‘Aisyah radlia Allahu ‘anha, dijelaskan kebiasaan Rosulullah S.a.w ziarah kubur dan ini termasuk hadits yang sahih, sebagai pijakan bahwa ziarah itu termasuk sunnahnya Rosulillah S.a.w.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- – كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- – يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقُولُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَأَتَاكُمْ مَا تُوعَدُونَ غَدًا مُؤَجَّلُونَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ

Artinya: Rasulullah setiap kali giliran menginap di rumah ‘Aisyah, beliau keluar rumah pada akhir malam menuju ke makam Baqi’ seraya mengucapkan salam: Salam sejahtera atas kalian wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukmin. Segera datang apa yang dijanjikan pada kalian besok. Sungguh, kami Insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah ampunilah penghuni kubur Baqi’ Gharqad. (HR Muslim).

Lalu, dimana disebut syiriknya? Adakah yang ziarah kubur itu tengah menyembah nyembah dan dalam hatinya tashdiq atas ketuhanan sang ahli kubur. Jawabnya jelas tidak ada dan tidak boleh ada. Jika ada lalu adakah dalilnya bahwa ziarah kubur itu perbuatan syirik?.

Kita tentu tahu bahwa syirik itu menyekutukan Allah dengan lainnya, hukumnya dosa yang tidak diampuni. Mari kita berpegangan pada ayat ini QS. Al-Baqarah: 165, bahwa Allah Jalla Jalaluhu telah berfirman.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

Artinya: “Dan sebagian manusia ada orang yang menjadikan tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, mereka sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat dzalim itu melihat, ketika mereka menyaksikan azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal)”.

Diksi kuburan, ziarah dan syirik ini selalu diperdebatkan tanpa ujung, seakan perdebatan yang tidak perlu diselesaikan. Ini yang oleh Alvin Toffler sebagai ” challenges all our old assumptions” (Toffler 1981: 2). Karena itu kita sudahi bahwa semua itu sudah jelas mulai definisi, hukumnya dan batasan-batasannya. Perdebatan kita sudah harus diarahkan pada strategi penyelamatan lingkungan hidup, dan pelestarian Bumi.

Sewor, 14 Oktober 2023

Penulis: Hamdan Suhaemi (Wakil Ketua GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy