Ibadah.co.id-Mungkin kita pernah mendengar istilah Al-Muridu kal Mayit yang artinya murid itu seperti mayit. Sebuah istilah untuk santri yang taat kepada gurunya.
Ustaz Masyhud adalah murid KH. Ma’shum dan KH. Hafidz. Beliau merupakan santri kalong (sebuah sebutan untuk santri yang pulang pergi dari rumah) yang kesehariannya ada di pondok pesantren. Meski begitu, tak sedikit pun mengurangi sikapnya layaknya santri yang bermukim di pesantren pada umumnya.
Saat beliau sekolah, beliau dan salah satu temannya berhasil menghafal pelajaran sesuai perintah KH. Hafidz. Lalu KH. Hafidz berkata, “Yang hafal, tolong ke belakang. Isilah bak air mandi sampai penuh!” Memang benar, sang guru menyuruhnya hanya satu kali. Akan tetapi beliau melaksanakan tugas tersebut setiap hari.
Tahun 1992-1994 beliau ditugaskan oleh yayasan Mabarat NU melalui gurunya yakni KH. Hafidz ke sebuah daerah pelosok yang masih primitif dalam hal keagamaan, tepatnya di desa Welulang kecamatan Lumbang kabupaten Pasuruan. Sebuah perjuangan yang tidak mudah, beliau harus bergelut dengan orang-orang yang kepercayaannya masih kental dengan agama hindu. Beliau disambut baik oleh masyarakat di sana, walaupun sebagian masyarakat merasa tidak nyaman dengan kehadirannya, khawatir kepercayaannya akan dirusak.
“Saya tidak pernah memaksa mereka, terlebih orang tua. Sasaran saya adalah para remaja di sana. Saya memulainya dengan sebuah pendekatan bertahap. Mulai dari mengadakan ngaji rutin, berjamaah di masjid, mengadakan sunat masal dan lain sebagainya,” tutur Ustaz kelahiran dusun Sendang, Manik Rejo, Rejoso, Pasuruan itu saat diwawancarai di rumah kediamannya, Sabtu (25/04).
Membelokkan ranting tak semudah mematahkannya. Begitulah istilah yang tepat untuk perjuangan putra dari pasangan Bapak Syafi’i dan Ibu Fatimah. Banyak istilah-istilah dan adat hindu yang harus ia belokkan ke pemahaman istilah Jawa yang masih berhubungan dengan agama Islam. Seperti contoh kecil, istilah “danyang”. Menurut kepercayaan mereka, danyang merupakan pelindung bagi desa mereka. Istilah danyang tersebut akhirnya dibelokkan ke istilah Jawa yakni dayo podho nyang yang artinya tamu semua berdatangan. Sampai sekarang akhirnya istilah tersebut digunakan untuk sebutan tamu, dan tidak lagi digunakan untuk istilah yang berbau animisme.
Usaha tak pernah membohongi hasil. Sampai saat ini di desa tersebut sudah melaksanakan tahlilan, sunatan massal, takbiran keliling, shalat wajib, shalat berjamaah, ngaji, dan tadarus bagi orang yang punya hajat, juga sudah tidak ada lagi yang memelihara anjing seperti halnya memelihara kucing.
“Meskipun orang tua mereka tidak melakukan apa yang saya ajarkan kepada para remaja di sana, akan tetapi para orang tua mendukung penuh terhadap kegiatan yang saya lakukan, bahkan mereka bangga terhadap anak-anak mereka,” ujar Ustaz Masyhud.
Beliau sangat yakin dengan menjalankan tugas dari guru disertai dengan hati ikhlas, akan membuat hidupnya barokah. (HN/Kontributor)