Ibadah.co.id – Penambahan kuota haji untuk jamaah asal Indonesia sudah dijanjikan oleh Pemerintah Arab Saudi pada musim haji tahun depan. Janji tersebut disampaikan Menteri Urusan Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F Al Rabiah kepada Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas pada pertemuan beberapa hari lalu.
“Informasi yang saya dapatkan dari menteri haji (Arab Saudi) saat saya bertemu beliau beberapa hari lalu pascamina. Beliau katakan insya Allah, akan lebih banyak dari tahun ini,” ujar Menag saat jumpa pers usai rapat evaluasi di Kantor Konsulat Jenderal RI untuk Arab Saudi, di Jeddah, Arab Saudi, Sabtu (16/7).
Indonesia mendapatkan kuota haji sebanyak 100.051 jamaah pada tahun ini. Jumlah ini berkurang ketimbang musim haji 2019 di mana Indonesia mendapatkan kuota 230 ribu jamaah, termasuk 10 ribu kuota tambahan. Pada 2020 dan 2021, Saudi tidak menerima jamaah dari luar negeri karena pandemi Covid-19.
Menurut Menag Yaqut, belum ada angka pasti berapa kuota jamaah haji yang akan didapatkan pada 2023. Pihak Arab Saudi yang nantinya akan mengumumkan penambahan kuota. Namun, Indonesia dan Saudi sepakat membentuk tim bersama untuk memaksimalkan pelaksanaan haji tahun depan bisa lebih baik.
Tak hanya itu, kata Menag, pihak Arab Saudi juga menjanjikan ada kuota khusus untuk jamaah lanjut usia (lansia). Hanya saja, Menag belum bisa menjelaskan lebih detail mengenai kuota khusus tersebut. “Juga disampaikan pada waktu pertemuan itu akan ada kuota khusus untuk usia lanjut. Definisinya seperti apa saya belum tahu juga, lebih baik kita tunggu saja,” kata dia.
Arab Saudi pada musim haji tahun ini membatasi usia jamaah hingga 65 tahun. Kebijakan tersebut membuat banyak jamaah haji lansia dari Indonesia gagal berangkat ke Tanah Suci.
Menag Yaqut juga meminta agar Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) tidak memaksakan jamaah untuk melaksanakan umrah sunnah. Menurutnya, masih banyak KBIHU yang tidak memperhatikan kondisi jamaah saat menjalankan program kegiatan peribadatan.
“Kita akan rapat dengan KBIHU agar dalam mengorganisasi jamaah untuk bisa melaksanakan ibadah sunnah, itu juga memperhatikan kondisi jamaahnya, jangan dipaksa,” ujar Yaqut.
Dia menjelaskan, kondisi psikologis dan fisik jamaah berbeda ketika sebelum dengan setelah menjalani puncak ibadah haji. Jamaah masih bersemangat dengan kondisi fisik yang masih prima sebelum memasuki fase Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Setelah itu, kondisi fisik jamaah akan menurun karena sudah kelelahan.
“Termasuk juga ibadah yang mubah yang jalan-jalan plesir ke mana-mana itu juga supaya dibatasi karena itu melelahkan,” kata dia.
Angka kematian dalam satu pekan terakhir cukup meningkat pasca-Armuzna. Dihitung sejak awal kedatangan, total ada 57 jamaah asal Indonesia yang meninggal dunia. “Saya tanya ke kesehatan, memang faktor yang banyak karena kardiovaskuler yang dipicu oleh kelelahan. Saya berharap semua menjaga stamina,” ujar dia.
Anggota Amirul Hajj Muhammad Khoirul Muttaqin meminta agar KBIHU tidak mengeksploitasi jamaah. Pihaknya sedang mempertimbangkan untuk memberikan sanksi bagi KBIHU yang melakukan eksploitasi. “Itu akan kita berikan sanksi. Sedang didiskusikan dengan tim evaluasi, bisa memungkinkan sampai pencabutan (izin),” ujar dia.
Menurut dia, masih ada KBIHU yang memaksimalkan prosesi peribadatan di Tanah Suci tanpa memperhatikan kesehatan jamaah. Mereka pun mengutip sejumlah uang untuk menyelenggarakan ibadah sunnah seperti umrah. “Mereka melakukan prosesi peribadatan maksimal dengan mengeluarkan kapital dari jamaah, kadang tanpa memperhatikan jamaah,” ujar dia.
Khoirul pun menegaskan, upaya KBIHU tersebut berisiko bagi kesehatan jamaah. Dengan terbatasnya kondisi fisik usai melalui puncak haji, pemaksaan kegiatan peribadatan bisa meningkatkan tingkat fatalitas. “Mereka lakukan ibadah sunnah ini yang kemudian mengakibatkan fatality,” kata dia.
Catatan amirul hajj
Menag meminta agar petugas pembimbing ibadah (Bimbad) ditetapkan lebih awal ketimbang petugas yang lain. Menurut dia, masih banyak petugas Bimbad yang bekerja tidak sesuai fungsinya. Jangan sampai, kata dia, jamaah yang sudah berangkat ke Tanah Suci tidak dibimbing sesuai kaidah agama.
“Saya minta Bimbad ditetapkan lebih awal dan dilibatkan dalam manasik-manasik sejak awal agar antara Bimbad dan calon jamaah ini sudah nyambung dari awal sejak dari Tanah Air,” ujar dia.
Catatan lainnya, ujar dia, terkait dengan keterlambatan konsumsi jamaah di Makkah. Meski bisa diganti oleh pihak katering, Menag meminta tidak ada keterlambatan kembali yang bisa merugikan jamaah. Selain itu, belum ada tester makanan untuk jamaah pada saat fase Armuzna. Tester seharusnya dilakukan di lokasi mengingat dapur katering berada di Armuzna.
Anggota Amirul Hajj Muhammad Khoirul Muttaqin menjelaskan, mitigasi bencana perlu diperbaiki untuk musim haji tahun depan. Tidak adanya pemetaan yang rinci masih membuat banyak kelompok rentan dengan usia lanjut dan memiliki penyakit komorbid ditempatkan di lantai atas. “Ini cukup mengkhawatirkan,” ujar dia.
Selain itu, kata dia, tidak ada kepastian jika power hydrant di setiap hotel jamaah masih berfungsi atau tidak. Pemondokan jamaah yang masuk dalam kawasan permukiman membuat risiko kebakaran juga meningkat. “Apakah dari kecerobohan penghuni karena puntung rokok atau arus listrik, ini patut juga diantisipasi,” kata dia.
MAN
Sumber : Republika
Baca juga : Masjid Jami Burton di Inggris akan Dihancurkan, Ada Apa?