Meneladani Kiai Muhammad Syamsul Arifin
Pondok pesantren Banyuanyar banyak dikenal semua masyarakat pulau Madura hingga Jawa, adalah pesantren yang telah lama berdiri untuk membina santri menjadi regenerasi ulama ataupun kiai. Di lain sisi, adapun metos yang kita kenal konon pesantren ini untuk mencari keberkahan, istilah bahasa Maduranya, “ngambri atau nyareh barokah” (tabarruq).
Semenjak pesantren ini didirikan, dipimpin langsung oleh kiai Ishaq bin Hasan bin Abd. Rahman (-+1787), kiai Isbat bin Ishaq (1817-1868), kiai Abdul Hamid bin Isbat (1868-1933), kiai Abdul Majid bin Abdul Hamid (1933-1943), kiai Baidawi (1943-1966), kiai Abd. Hamid Baqir (1966-1980), dan kiai Muhammad Syamsul Arifin (1980-sekarang).
Dalam tinta sejarah kepemimpinan pondok pesantren Banyuanyar, kiai Muhammad Syamsul Arifin adalah salah satu pengasuh yang berasal dari menantu kiai, di mana secara nasab (garis keturunan). Kiai Abd. Latif termasuk salah satu keturunan dari Buyut Congkop Pakes yang masih memiliki hubungan keluarga (family) dengan pondok pesantren Banyuanyar.
Menurut kisah-kisah kongkretnya, banyak para asatidz senior dan alumni yang menegaskan bahwa selama kiai Muhammad Syamsul Arifin memikul tongkat estafet kepemimpinan hingga morok atau memulang kajian kitab kuning. Meskipun, terdengar riuhan santri pada saat pengajian. Namun, ia tetap melanjutkan kajiannya dengan sabar.
Di balik sikap dan tuturnya, yang lemah lembut, sopan dan santun, penuh keramahan, terbukti mampu membuat para santri terdiam sunyi sepi, secara tasawuf ia mencerminkan ulama atau kiai yang sangat “hilim” dari akar kata “Haluma”. Artinya, orang yang mempunya sifat kesantunan tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusianya.
Selain itu, kiai Muhammad Syamsul Arifin di sela-sela sambil muroq atau memimpin kajian kitab kuning dari pelbagai bidang. Mulai dari bidang ilmu fikih, tafsir, hadits, dan kitab-kitab klasik karangan dari ulama terkenal lainnya. Juga ia seorang tokoh politik panutan umat yang istiqamah (konsisten) di partai PPP.
Dengan keistiqamahannya, ia memang cukup konsisten dalam menentukan sikap politiknya, sehingga beban atau tanggungjawab yang diperankan adalah obligasi keagamaan dan keummatan sebagai suatu terobosan untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Kiai Dikenal Hilim, dan Istiqamah
Pun kesebaran yang ditampilkan sungguh membuatdirinya istiqamah, bahkan membuat penulis pribadi dan semua alumni dan masyarakat ta’dzim atau menghormatinya. Entah itu, sebagai ulama atau kyai atau pun sebagai tokoh politik panutan umat.
Tampaknya, gelar “hilim” yang melekat kepada kiai Muhammad Syamsul Arifin, masyarakat mengenalnya adalah sosok penyabar dan selalu istiqamah. Baik dalam aktif memimpin shalat berjamaah 5 waktu, juga dalam memimpin pengajian kitab kuning sungguh on time (tepat waktu).
Kaidah yang ia tegaskan kepada para santrinya “utlubul istiqamah” carilah kebiasaan atau keistiqamahan. Karena itu, akan membuat hidup kita akan semakin mudah meraih keberkahan (barokah). Dan di era kepemimpinannya, pondok pesantren Banyuanyar telah mencapai ribuah santri-santriwati.
Islam menempatkan ulama atau kiai sebagai pewaris tahta kenabian untuk menjadi penutan atau cerminan seluruh umat dalam hal berteologi, berakhlah, dan mengayomi umat. Dari sisi ini, tentu sikap kepemimpinan kiai Muhammad Syamsul Arifin tidak hanya menjadi penyejuk umat beragama. Melainkan pendamai serta penentram warga.
Menurut hemat penulis, kiai Muhammad Syamsul Arifin mencerminkan ulama yang kharismatik, ‘alim atau ahli ilmu, taqwa, tawadhu’, wara’, yakin, istiqamah, dan penyabar. Sikap-sikap yang melekat tersebut menjadikannya sebagai pemimpin yang tidak hanya disegani dalam tatanan sosial, tetapi dihormati.(HN)