Ibadah.co.id – Orang awam sebagaimana kita mungkin masih cukup ragu untuk ridho terhadap keputusan penutupan majlis dan sholat Jum’at yang dihimbaukan. Sehingga kadang sholat Jum’at dalam wilayah yang tidak aman sekalipun kadangkala masih tetap dilakukan oleh sementara orang. Padahal, pandangan agama terutama pandangan Fiqh (tata cara syariat) sangat hati-hati, lentur dan solutif dalam menerapkan hukum.
Memakan daging ular itu haram, namun jika dalam kondisi tertentu (darurat) maka memakan sesuatu yang semula haram tersebut menjadi boleh bahkan wajib apabila sesuatu tersebut merupakan satu-satunya jalan keluar untuk menyelamatkan diri dari bahaya. Sholat Jama’ah di masjid itu Fardlu kifayah. Namun jika didalam masjid terdapat srigala yang lapar atau penyakit yang mengancam, maka datang ke masjid bisa menjadi larangan yang dapat merubah hukum sunah atau wajib menjadi makruh bahkan haram apabila benar-benar membahayakan dalam beribadah.
Qiyas (perumpamaan) tersebut sangat tepat dengan kondisi darurat kita saat ini.
Melalui rumus Ushul Fiqh (ilmu tentang kaidah-kaidah atau dasar ilmu fiqih), Ilmu fiqih sangat konsisten dan solutif dalam menerapkan hukum. Selalu mempertimbangkan antara manfaat dan madlarat (resiko/bahaya) yang lebih dominan, sehingga bisa menetapkan hukum terhadap sesuatu itu menjadi wajib, sunah, mubah, makruh atau haram. Dasarnya sangat jelas dalam menerapkan fiqih sosial, ijtihad ulama sangat berhati-hati dalam memutuskan hukum. Dalam kondisi saat ini, berlaku hukum Dar’ul Mafasid Muqoddamun ala Jalbil Masholih. Secara bebas, dapat dipahami kaidah tersebut bahwa mencegah kemadlorotan atau bahaya itu lebih diutamakan dan lebih penting dibandingkan melakukan atau mengambil sesuatu yang bermanfaat. Dalam persoalan fiqih sosial, kemaslahatan umun lebih dipentingkan dan diutamakan daripada kemaslahatan khusus untuk pribadi atau kalangan tertentu. Meminjam istilah Prof. Quraish Shihab, bahwa agama lebih mementingkan kemanusiaan daripada keberagamaan. Maka mengikuti anjuran ulil amri atau orang alim (para ahli) menjadi fardlu dan solusi yang wajib didengar dan ditaati untuk menjamin keamanan umat, pun juga keamanan dalam beribadah.
Sholat Jum’at itu fardlu Ain bagi muslim yang telah mukallaf. Namun jika dalam kondisi tertentu ibadah apapun selalu ada toleransi dan bisa berubah hukumnya, tergantung situasi yang tentunya dalam rangka ikhtiar mengurangi resiko bahaya dalam beribadah.
Namun sayangnya, Kita sering mendengar orang berkata;
“takut sama Allah atau corona? / Orang beribadah pasti dilindungi Allah,/ hidup mati itu sudah diatur Allah/ jangan takut dengan masjid gara-gara corona…. dll“.
Pembaca sekalian, kita ini sangat awam. Mari kita bedakan antara tawakkal dengan takabbur. Bertawakkal itu baik dan dianjurkan, namun berikhtiar untuk meyelamatkan diri itu jauh lebih wajib. Bukankah Allah mengingatkan kita dalam QS. Ar-Ra’d : 11 bahwa sungguh Dia pun tak akan mengubah nasib kaum a/ kelompok/ hambanya sebelum kita sendiri yang memmulai merubahnya. Lagipula yang takut terhadapa wabah ini bukan berarti mereka tidak takut terhadap Allah. mereka hanya waspada bahwa ini merupakan peringatan bagi kita sebagai manusia agar tidak angkuh dan merasa kuat. Lagipula ibadah kita tidak bisa menjamin apakah kita termasuk orang yang selamat atau tidak, karena entah cara ibadah kita sudah ikhlas dan benar sesuai syariat atau tidak.
Belakangan ini juga bermunculan hadits-hadits dan diuraikan yang menganjurkan orang berbondong dan berlindung dimasjid agar diberikan perlindungan dan akan aman. Dalam bencana non alam sebagaimana saat ini, hadits tersebut juga tidak boleh asal dijadikan satu-satunya dasar. Kita tidak tau siapa yang sakit dan terinfeksi wabah menular diantara kita. Jika semuanya dikumpuljan dalam masjid dan bercampur, maka menjadi kacau dan berpotensi madlorot lebih besar. Rasul berpesan tak boleh mencampurkan antara yang sehat dan yang sakit. Mendatangi masjid untuk sesuatu yang mengancam itu bukan sesuatu yang baik. Justru menyelamatkan nyawa diri sendiri untuk menyempurnakan ibadah dirumah adalah bisa menjadi sunnah karena akan menyelamatkan diri sendiri dan banyak orang. Karena kita tidak tahu keadaan kita in sehat atau sakit yang bisa mengancam keselamatan orang banyak. La dlororo wa la Dliroro. Jangan menyakiti atau membayakan diri sendiri dan orang lain. (RB)
Oleh Yazid Mubarok, Pengurus Pusat Wadah Silaturrahim Takmir Masjid dan Dai Muda Indonesia (Wasathi)