Ibadah.co.id –Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan, setidaknya ada tiga tolok ukur moderasi beragama. Ini disampaikan Menag saat menyampaikan kuliah umum berjudul “Moderasi Beragama dan Masa Depan Indonesia” di Kampus Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, (28/09).
“Saya ingin menyampaikan tiga hal yang jadi tolok ukur. Dalam membuat tolok ukur ini, kita kembalikan kepada ajaran agama, dalam hal ini Islam,” ujar Menag, Sabtu (28/09) di hadapan ribuan civitas akademika UIN Raden Fatah Palembang.
Moderasi beragama menurut Menag adalah wacana yang terus digaungkan Kemenag dalam lima tahun terakhir sebagai upaya, ikhtiar yang tidak berkesudahan agar umat beragama dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tetap berada pada jalur yang tidak berlebihan, atau tidak ekstrim.
Untuk itu tolok ukur moderasi beragama ini dapat digunakan untuk melihat apakah pemahaman dan pengamalan agama dapat dikatakan ekstrim atau tidak. Tolok ukur pertama, adalah kemanusiaan. Dalam ajaran Islam misalnya, menurut Menag, penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. “Karena itulah, salah satu pokok ajaran Islam ialah memanusiakan manusia. Islam hakekatnya untuk kemanusiaan,”ulas Menag.
“Maka, bila ada paham keagamaan maupun tindakan yang mengatasnamakan Islam, tetapi merendahkan harkat, derajat, martabat kemanusiaan, bahkan menghilangkan sesama manusia, maka menurut saya, ini sudah berlebih-lebihan,” sambungnya.
Saat menemukan kondisi seperti ini, Menag pun mengajak civitas akademika UIN Raden Fatah Palembang untuk merangkul mereka yang berpemahaman maupun berperilaku berlebihan tersebut. “Dakwah itu mengajak. Mengajak itu merangkul, mengayomi, tidak sebaliknya,” ujar Menag.
Hal kedua yang menjadi tolok ukur adalah kesepakatan komitmen. “Inti ajaran Islam, karena kita beragam, dan keragaman ini adalah sunnah, maka menjaga ketertiban dan kedamaian bisa terwujud dengan menjaga komitmen,” ungkap Menag.
Ia mencontohkan, dalam Islam, ikatan perkawinan antara dua orang anak manusia saja dibangun di atas kesepakatan-kesepakatan. “Ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Apalagi dalam komunitas masyarakat yang lebih besar,” tuturnya.
Ketiga, paham atau tindakan dikategorikan tidak berlebihan atau tidak ekstrim selama dapat menjaga ketertiban umum. “Kalau ada di antara kita yang mengatasnamakan agama lalu kemudian secara sepihak memaksakan diri, pandangan atau tindakan, kemudian menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap ketertiban umum, maka di situlah kita bisa mengatakan sudah berlebih-lebihan. Dan sekali lagi, ini menjadi kewajiban kita untuk mengajaknya kembali,” pesan Menag.
Menag bersyukur dapat menyampaikan materi tentang moderasi beragama di hadapan 919 wisudawan Sarjana (S1) dan Paska Sarjana (S2) dalam Iftitah Akbar UIN Raden Fatah ke-71 tersebut. “Ini sebuah tema yang tentu penuh dengan makna yang harus kita dalami secara seksama karena nikai yang terkandung dalam tema ini tidak hanya berlaku dalam konteks Indonesia, tapi juga dunia,” kata Menag. (ed.AS/ibadah.co.id/kemenag)