Take a fresh look at your lifestyle.

TGB Jelaskan Soal Perbedaan Politik Umat Islam

150

Ibadah.co.id – Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi jelaskan soal perbedaan pandangan politik umat Islam. Ia menjelaskan bahwa politik adalah bagian dari muamalah, bukan akidah. Jadi ketika ada perbedaan politik di tubuh umat Islam, itu adalah hal yang wajar.

Seperti dilansir republika.co.id pada 7/12/20, fenomena yang belakangan mengemuka adalah bahwa interaksi di media sosial (Medsos) menghadirkan tantangan tersendiri bagi kehidupan keberagamaan. Terutama, dalam konteks menjaga kohesivitas umat yang solid. Apalagi, saat ini Medsos turut berkontribusi pada terbentuknya polarisasi dan defragmentasi di berbagai lini kehidupan, termasuk keberagamaan.

Menurut Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, arus defragmentasi ini semakin menguat seiring berjalannya waktu. Jika dulu bentuk oposisi keberagamaan Islam di Indonesia dikuasai oleh narasi biner Sunni-Syiah. Saat ini, pertentangan melebur bahkan hingga level organisasi.

TGB mengatakan, polarisasi ini turut pula dikondisikan oleh menjamurnya tokoh dan ulama yang memiliki hasrat untuk mendapat kekuasaan politik dan menggunakan instrumen idiom-idiom keagamaan untuk mengeruk simpati umat.

Selain itu, kata dia, instrumentalisasi idiom-idiom agama oleh tokoh yang kemudian tersirkulasi melalui platform Medsos tak jarang menimbulkan gejolak. Perdebatan politik yang tidak menjadi pokok dalam islam, kerap kali meruncing menjadi perdebatan akidah.

“Politik itu bukan bagian dari akidah tapi muamalah. Karena itu perbedaan pendapat adalah hal biasa. Tidak boleh kemudian menyebabkan kita memutuskan silaturahmi,” ujar TGB dalam Washathiyah Webinar Series: Dakwah Washathiyah Islam di Era Revolusi Industri 4.0: Adab, Peluang dan Tantangan, Sabtu malam (5/12).

Di medsos, kata TGB, sekarang perseteruan politik bisa dibawa kepada perseteuan akidah. “Kemudian beda pandangan itu dibawa ke dalam perbedaan keyakinan yang akhirnya saling menyesatkan, mengkafirkan, munafik dan segala macam,” katanya.

Kondisi ini, kata dia, menjadi tantangan tersendiri bagi para tokoh dan ulama untuk berdakwah di era sosmed. Padahal, media sosial memiliki peran yang teramat besar dalam mengkonstruksi pemahaman keberagamaan umat di zaman ini, Sebab, berbagai informasi keagamaan yang membanjiri Medsos kerap dijadikan masyarakat sebagai pegangan mereka.

Karena itu TGB mengingatkan kepada siapa saja yang memikul peran sebagai contoh bagi umat untuk lebih serius memahami dan merespon berbagai fenomena di Medsos. Hal tersebut harus dilakukan untuk membendung bentuk-bentuk dakwah dan produksi informasi keagamaan lainnya juga mengandung potensi memperuncing polarisasi dan defragmentasi umat.

Senada dengan TGB, Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang menjadi narasumber dalam webinar menangkap adanya gejala polarisasi dalam konteks yang lebih luas dengan menyebut fenomena ini sebagai sukuisme.

Menurutnya, potret sukuisme ini jamak ditemui di grup-grup WhatsApp di mana setiap orang tergabung dalam grup yang beranggotakan kelompok orang dengan pandangan serupa, baik pandangan politik, keagamaan, dan lain-lain.

“Sukuisme baru dalam grup WhatsApp kecenderungannya adalah orang yang ada di grup itu satu ide, satu pandangan sebagai. Keberadaan grup-grup itu saya amati semakin mensolidkan eksistensi masing-masing kelompok,” kata Dahlan.

Keberadaan kelompok-kelompok yang tersegmentasi ini, menurut Dahlan, bakal terjadi di dunia dakwah. Kemajuan teknologi yang membuat setiap orang dapat memproduksi narasi dakwah sesuai kehendak pribadinya membuat setiap tokoh agama akan memiliki pendengar dan pengikutnya masing-masing, sehingga ketersekatan dan bentuk narasi yang majemuk masih akan dijumpai.

“Seperti apa dakwah yang akan mengena di hati masyarakat di masa depan? Tentu dakwah model apa pun akan mempunyai jemaah. Model yang keras, model agak lunak, semua model akan memiliki jemaahnya sendiri-sendiri. Menjadi tersekat-sekat,” papar Dahlan.

Dalam rangka memperkuat umat, TGB mengingatkan peran dan tanggung jawab ulama sebagai waratsatul anbiya alias pewaris para nabi. Dalam konteks dakwah, signifikansi peran ulama tidak hanya mengacu seberapa banyak ayat Al Quran dan Hadits yang ia sampaikan dalam sebuah pengajian, namun juga segala bentuk perilaku dalam keseharian.

Dengan perannya itu, kata dia, ulama juga didorong untuk menghadirkan hal-hal yang baik di ruang publik sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap umat.

“Ketika rasul menyampaikan ‘siapa yang bisa menjamin sesuatu di antara kedua gerahamnya dan di antara dua pahanya dijamin masuk surga.’ Di antara dua geraham itu ya semua ujaran-ujaran kita. Semua hal yang diproduksi dengan tangan, lisan, dengan apapun yang dikonsumsi orang banyak. Itu menurut saya penting,” paparnya. Selain itu, TGB juga meminta para tokoh dan ulama untuk mengedepankan prinsip washathiyah terutama bersikap proporsional dalam menghadapi media sosial. Bersikap proporsional dinilai menjadi implementasi pertanggungjawaban yang paling konkret bagi para ulama untuk merawat iklim keberagamaan yang sehat di Indonesia dengan konteks heterogenitasnya yang kompleks. (RB)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy