Dosen Universitas Nadhlatul Ulama Tanggapi Soal Klepon Tidak Islami
Ibadah.co.id – Dosen Universitas Nadhlatul Ulama Surakarta Ahmad Faruk menanggapi soal isu yang tengah viral di media sosial yakni kue Klepon yang tidak islami. Pelabelan islami atau tidak pada sebuah makanan dianggap keliru. Dalam Islam makanan dilabeli dengan halal atau haram. Seperti daging ayam, sapi itu adalah makanan halal, sementara daging babi adalah makanan haram di dalam ajaran Islam.
Seperti dilansir okezone.com pada 23/07/2020, Klepon, kudapan tradisional dari Pulau Jawa, mendadak menjadi viral setelah sebuah unggahan di media sosial melabeli cemilan tersebut “tidak Islami.”
Kata ‘klepon’ menjadi trending di Twitter Indonesia sampai Rabu (22/07) pagi. Berawal dari sebuah foto klepon diberi narasi ‘kue klepon tidak Islami’ sembari mengajak membeli aneka kurma yang tersedia di toko syariah pengunggah. Tertulis Abu Ikhwan Aziz dalam unggahan itu.
Dosen Universitas Nadhlatul Ulama Surakarta Ahmad Faruk ‘menyayangkan’ hal tersebut, “Dalam perspektif agama Islam, tidak ada makanan syariah, lebih kepada halal apa haram, atau halalan toyiba apa tidak.”
“Satu makanan dipandang syar’i adalah makanan itu harus datang dari Arab, menurut saya agak keliru juga,” ujarnya seperti dilansir dari BBC News Indonesia.
Ahmad Faruk, yang juga Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Solo menegaskan lagi, “Kalau dalam agama Islam itu bukan makanan syar’i, tapi lebih kepada apakah makanan ini halal atau haram. Makanan halal itu makanan yang dibolehkan oleh agama, seperti daging ayam, daging sapi, dan daging kambing, sementara daging anjing dan daging babi haram.
“Dalam Alquran sudah jelas ada ayat yang mengharamkan darah, bangkai, dan daging babi dan daging anjing.”
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin lewat pesan singkat kepada BBC Indonesia mengatakan klaim klepon tidak Islami tersebut “jangan ditanggapi, abaikan saja. Itu berita liar.”
Belum diketahui siapa yang pertama kali mengunggah foto tersebut. Foto itu viral setelah diunggah ulang oleh beberapa akun media sosial yang memiliki jumlah pengikut banyak, baik di Twitter atau Facebook. Komentar-komentar yang muncul terkait klepon menjadi olok-olokan atau lelucon soal klaim ‘makanan non-Islami’ tersebut.
Unggahan klepon yang menjadi viral menunjukkan bahwa isu-isu terkait suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) masih mudah menyentil emosi orang dan dapat digunakan untuk mengedepankan sebuah agenda tertentu, demikian menurut Aribowo Sasmito, salah satu pendiri dan ketua komite pemeriksa fakta di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
“Kalau isu SARA, itu menjadi pola misinformasi yang standar dan tipikal di Indonesia yang bisa digunakan untuk memancing emosi orang. Salah satu tanda satir atau parodi yang sukses itu justru jika makin banyak orang yang salah paham maka makin sukses juga parodi tersebut. Jadi salah satu hal yang paling gampang membuat tersinggung itu adalah dengan memakai isu SARA, karena itu membicarakan identitas,” ujar Aribowo.
Menurut Ahmad Faruk, sebuah hal bisa dilabeli “syariah” atau sesuai hukum Islam jika memang ada aturannya dalam Al-Quran, seperti bank syariah. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk makanan.
“Bank syariah memang ada dalam agama karena ada prinsip ekonomi syariah. Sebenarnya dalam agama itu belum ada [hukum syariah untuk makanan], insyaallah tidak ada, karena ayatnya jelas,” kata pria yang biasa dipanggil Gus Faruk ini kepada BBC Indonesia (22/07).
Ia menyebutkan bahwa makanan halal dan haram disebutkan dalam Al-Quran, yakni Surat Al-Maedah ayat 88 dan Surat Al-Baqarah ayat 168, yang intinya menyebutkan bahwa umat Muslim harus makan makanan yang halal, di mana untuk daging, binatangnya harus disembelih sesuai aturan agama dan hewannya tidak diharamkan.
Selain itu, makanan juga harus baik, atau toyiba, artinya makanan itu harus pantas dimakan dari aspek kesehatan.
Gus Faruk menambahkan klepon, bola-bola kenyal yang terbuat dari tepung beras dan gula aren atau gula merah, termasuk makanan halal.
“Makanan seperti lemper, pisang goreng, arem-arem, ya itu makanan yang baik, bahan-bahannya terbuat dari bahan yang tidak diharamkan,” ujarnya.
“Menurut saya ada beberapa aspek kok bisa muncul ‘klepon syar’i, mungkin saja itu hanya untuk branding, karena (pengunggahnya) jualan kurma, ia ingin kurmanya laku jadi jajanan yang tidak berasal dari kurma itu dikatakannya tidak syar’i.
“Satu aspek [makanan] yang dia pandang sebagai syar’i itu adalah makanan itu harus datang dari Arab, menurut saya agak keliru juga,” ujarnya.
Bagaimana sejarah klepon?
Klepon ternyata sudah disebut-sebut dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra terbesar tentang kebudayaan Jawa yang ditulis pada awal abad ke-19, kata Fadly Rahman, sejarawan kuliner di Universitas Padjadjaran, Bandung.
“Di situ disebutkan klepon dipakai sebagai salah satu bagian dari menu yang biasa dihidangkan di rumah tangga orang-orang Jawa, dan juga dipakai dalam acara tradisi selamatan, syukuran, selain sebagai kudapan yang dimakan dalam berbagai momen, mulai dari momen santai sampai tradisi-tradisi ritual,” kata Fadly saat dihubungi (22/07).
Tradisi ritual yang dimaksud termasuk acara kenduri dan serentahun, atau acara syukuran atas hasil panen yang melimpah pada periode tertentu, kata Fadly.
Ia memperkirakan bahwa klepon telah dikonsumsi masyarakat Jawa kuno sejak abad ke-10 Masehi. Ini karena bahan dasar klepon sama seperti kudapan seperti cendol dan dawet yang disebut dalam “prasasti kuno di masa-masa abad ke-10 Masehi.”
“Walaupun klepon muncul di naskah Serat Centhini yang ditulis pada masa abad ke-19, tapi kalau dilihat dari segi bahan -dari tepung beras yang digunakan, lalu suji atau daun pandan sebagai pewarna tepung beras, lalu gula merah atau gula aren yang digunakan sebagai pemanis yang ada di dalam klepon, dan parutan kelapa yang menunjukkan klepon- ini sama seperti dawet dan berbagai jenis kudapan yang menggunakan bahan yang sama,” jelasnya.
“Ini mencirikan makanan khas Jawa, atau secara umum Asia Tenggara di Malaysia dan Singapura juga ada klepon, yang bisa jadi ini hasil dari diaspora kuliner Jawa ke negara tetangga.”
Klepon diperkirakan menjadi kudapan yang populer di masyarakat Jawa kuno karena bahan-bahannya tumbuh di sekitar rumah, dan cemilan tradisional itu juga menjadi bukti kreativitas masyarakat Jawa saat itu, kata Fadly.
“Ini selain memanfaatkan secara optimal hasil pangan yang ada di Jawa kuno, juga menunjukkan bukti kreativitas seni kuliner yang tidak bisa dianggap enteng. Bagaimana mereka bisa memasukkan cairan manis gula aren di dalam balutan tepung beras yang kenyal dan juga dipermanis dengan parutan kelapa,” jelasnya.
Menurut Fadly, unggahan viral yang menyebut klepon sebagai makanan yang tidak Islami justru menunjukkan bagaimana “di tengah himpitan pengaruh kuliner asing dari masa lalu hingga sekarang, produk seperti klepon ini masih bisa bertahan.”
Konteks yang dipelintir
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) memasukkan unggahan soal ‘klepon kafir’ tersebut ke dalam dua dari tujuh kategori misinformasi dan disinformasi yang dimilikinya, yaitu parodi dan konteks yang dipelintir, kata Aribowo Sasmito.
Ia mengatakan bahwa ini bukan pertama kalinya ada klaim di internet mengenai halal atau tidaknya suatu makanan yang jamak dikonsumsi, seperti isu ‘telur halal’ yang sempat bergema beberapa tahun lalu.
“Kalau diobservasi, media sosial itu tempat berkumpul orang-orang yang suka komentar, bermanfaat atau tidak, yang penting mereka bisa komentar dengan berbagai macam pandangan. Ini akan makin rumit kalau dihubung-hubungkan dengan politik karena ada juga tokoh politik yang menggunakan isu ini untuk menyindir lawannya. Kalau sudah membicarakan politik, isunya semakin rumit,” ujar Aribowo.
Selain itu, isu SARA juga masih terus dipakai dalam misinformasi atau disinformasi online untuk membuat masyarakat bereaksi.
“Kalau isu SARA, itu menjadi pola [misinformasi yang standar dan tipikal di Indonesia yang bisa digunakan untuk memancing emosi orang. Salah satu tanda satir atau parodi yang sukses itu justru jika makin banyak orang yang salah paham maka makin sukses juga parodi tersebut. Jadi salah satu hal yang paling gampang membuat tersinggung itu adalah dengan memakai isu SARA, karena itu membicarakan identitas,” ujar Aribowo.
Soal ‘klepon tidak Islami’ yang viral minggu ini, ia mengatakan, jika unggahan tersebut adalah suatu bentuk parodi, maka untuk menghindari perdebatan yang panas, pengguna internet harus dapat membatasi diri dalam hal berkomentar yang dapat menyinggung orang lain.
“Memang media sosial adalah tempat berkumpulnya banyak orang, apalagi di masyarakat kita, bahkan ada sebutan ‘netizen +62.’ Bermanfaat atau tidak bermanfaat, orang akan lebih suka komentar, namun akibatnya tidak dipikir, dan sering di media sosial menjadi seperti bentrok.
“Tapi memang harus dipahami ya bahwa itu adalah kebebasan berpendapat. Kalau dikaitkan dengan parodi, pembatasannya ada di diri kita masing-masing,” imbuhnya.
Foto disalahgunakan
Sementara itu di Twitter ada yang mengklaim bahwa foto kue klepon yang viral milik Dita C. Ichwandardi, fotografer dan blogger makanan. Tapi, diakui fotonya itu disalah gunakan oleh oknum.
“Foto @ditut ini dipakai tanpa sepengetahuan kami dan digunakan untuk menyebar informasi yang tidak sejalan dengan pemikiran kami,” tulis akun Twitter @pinot.
Sementara Dita C. Ichwandardi melalui akun Twitternya menulis, “Ciyan amat itu foto klepon gue,” katanya.
Dita menjelaskan, foto klepon itu dia ambil pada 2008 waktu dirinya masih aktif sebagai food-photographer dan food-blogger.
“Bangun tidur, kucek-kucek mata, apaan nih. Lihat Facebook, teman-teman food-blogger lama banyak yang nge-tag. Apal mereka sama foto-foto makananku (laugh). Masih enggak ngerti ada apaan, kenapa ramai-ramai klepon karena banyak post link-nya sudah dihapus. Ternyata oh ternyata tak Islami,” paparnya. (RB)