Ibadah.co.id – Pesantren al-Falah Biru merupakan pesantren kelanjutan dari Pesantren Biru yang didirikan oleh Kyai Akmaludin – seorang penghulu Timbanganten/ Garut, pada 1749 M. Setelah Kyai Akmaludin meninggal, Pesantren Biru dipimpin dan dikelola oleh Kyai Fakarudin, Kyai Abdul Rosyid, Kyai Irfan, Kyai Abdul Qoim, Kyai Muhammad Adra’ie (Ama Biru).[12]
Setelah masa Raden Bagus Kyai Muhammad Adra’ie berakhir, lokasi Pesantren Biru dipindahkan ke Kampung Torikolot, dan diberi nama tambahan “al-Falah” yang dipimpin oleh putranya, Raden Kyai Muhammad Asnawi Kafrawi Faqieh (Bani-Faqieh). Kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan oleh Syekh Badruzzaman, Kyai Bahrudin, Kyai Enjang Saepudin, dan Kyai Hanif Mamun Budi Kafrawi.[13]
Pada periode kepemimpinan Syekh Badruzaman[14], Pesantren al-Falah-Biru menjadi basis perjuangan dalam rangka menentang pendudukan Jepang dan Agresi Militer Belanda I. Pada masa pendudukan Jepang dan Agresi Militer Belanda II, Syekh Badruzaman pernah membentuk pasukan Hizbullah dan Hizbullah fi Sabilillah. Ia juga memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan melakukan kaderisasi para mujahid melalui khalwat. Karena Pesantren al-Falah-Biru tidak aman dan sering menjadi sasaran serangan musuh, ia pernah mengungsi di Cikalong Wetan (Purawakarta), Padalarang, Majenang (Jawa Tengah) dan Taraju (Tasik). Meskipun dalam pengungsian, ia terus mengembangkan ilmu agama di tempat-tempat itu.[15]
Jaringan pengaruh internasional yakni India dan Arab yang mewarnai profil pesantren pada awal berdirinya dapat juga ditelusuri melalui teori kemazhaban. Beberapa peneliti menemukan bahwa penyebar Islam di Indonesia adalah orang-orang Arab yang tinggal di Gujarat, Malabar dan Pantai Coromandel, India dan Arab waktu itu merupakan tempat-tempat yang subur bagi mazhab Syafi’i.[16] Pada sisi lain, juga ada pengaruh orang Iran baik yang Sunni maupun Syi’ah yang meninggalkan bekas-bekasnya berupa adat istiadat dan kebesaran, tetapi tidak menjadi kepercayaan dasar.[17] Pengaruh ini menyusup ke dalam paham para wali. Sunan Gunung Jati sebagai pendiri pesantren di Cirebon –menurut Hossein Djajadiningrat yang dilansir oleh Wiji Saksono—adalah berpaham Syi’ah Zaidiyah. Oleh karena itu, kalangan pesantren yang Sunni hingga sekarang masih melestarikan tradisi Syi’ah.
Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan missi pendidikan, tetapi juga dakwah sekaligus, dan justru missi kedua ini yang lebih menonjol. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang dapat menyalurkan dakwah secara tepat sasaran sehingga terjadi benturan antara nilai-nilai yang telah dibawanya dengan nilai-nilai yang telah mengakar di masyarakat setempat. Lazimnya, baik pesantren yang berdiri pada awal pertumbuhannya maupun yang berdiri pada abad ke-19 dan 20 masih juga menghadapi kerawanan-kerawanan sosial-keagamaan pada awal perjuangannya. Mastuhu melaporkan bahwa pada periode awalnya pesantren berjuang melawan agama dan kepercayaan serba Tuhan dan takhayyul, pesantren tampil membawakan missi agama tauhid.[18]
Get real time updates directly on you device, subscribe now.
Next Post